The School For Good and Evil (Jilid 3)
Judul : The School For Good and Evil (Jilid 3) : Akhir Bahagia Selamanya.
Penulis : Soman Chainani
Penerbit : Bhuana Sastra
ISBN : 978-602-394-211-4
Tebal : 732 Halaman
Rating Pribadi : 4,8 Stars
Blurb :
Sophie bimbang. Apakah benar, cinta sejatinya adalah Sang Guru? Jika dia menerima pinangan Sang Guru, Kejahatan akan merajalela. Bukankah ia sudah berusaha keras menjadi baik? Agatha merasa hubungannya dengan Tedros malah semakin menjauh. Pertengkaran pun mewarnai hari-hari mereka. Hingga mereka menyadari satu persamaan yang menyatukan mereka, Sophie. Mereka bertekad untuk menyelamatkan Sophie.
Misteri demi misteri terungkap dan kebenaran mulai tersibak. Takdir yang menautkan Sophie dan Agatha memang dituliskan dari jauh sebelumnya. Manakah yang akan dipilih Sophie? Tetap bersama Sang Guru dan membiarkan Kejahatan menang? Ataukah memilih membantu Agatha, sahabat terbaiknya dan Kebaikan untuk menang?
Kembali ke review. Aku sudah resmi menikah dengan The School For Good and Evil, jadi meskipun sampulnya tidak menarik, aku akan tetap membelinya, alias mencintai apa adanya. Namun, tahukah kalian, ternyata sampul jilid ke-3 jauh dari kata jelek. Sebaliknya ... SEMPURNA! Kalian bisa lihat, wajah sampul masih dihiasi Agatha dan Sophie, dua gadis kesayangan kita bersama masing-masing angsa mereka Hitam dan Putih. Kalau biasanya putih melambangkan kebaikan, coba tebak ... di buku ini peraturan itu tidak berlaku.
Dalam sampul juga terlihat jelas bahwa akan terjadi peperangan dahsyat antar Kebaikan dan Kejahatan, yang dipimpin langsung oleh Tedros dan Sang Guru. Kemudian apa lagi yang kira-kira bisa kita analisa pada sampul di atas? Agatha yang sudah resmi menjadi ikon kebaikan, serta Sophie yang sudah resmi menjadi Ratu Kejahatan. Apakah itu benar-benar takdir akhir mereka? Apakah mereka ikhlas menerimanya kali ini?
Bukan lagi hanya tentang Agtha si anak jelek yang menjadi seorang putri, bukan juga tentang Sophie yang berusaha keras menjadi baik, padahal dia sudah jelas-jelas jahat. Bukan juga tentang Tedros dengan segala tingkah bodohnya. Di sini semua hal diperdalam dan diungkap ke permukaan. Kenapa dongeng Sophie dan Agatha begitu sulit mencapai akhir. Kenapa sangat sulit bagi mereka untuk menemukan akhir bahagia.
Ditambah kembalinya serikat 13 yang berisi pahlawan-pahlawan dongeng untuk melawan zombie-zombie antagonis mereka. Sayangnya, pertempuran antar dongeng yang seharusnya epik tidak bisa terlaksana karena para pahlawan sudah ... terlalu tua untuk berperang. Mau dikata apa? Begitu lama kisah mereka tamat, bahkan ada yang sampai ratusan tahun. Tiba-tiba tanpa diundang para penjahat bangkit dan protes kenapa mereka kalah? (Ya makanya jangan jahat!!!)
Masalah keluarga yang pelik antara Sophie dan Agatha juga menjadi poin penting dalam cerita. Begitu juga masalah keluarga Tedros yang akan mengubah jalan pikir kita tentang Si Pangeran Labil itu. Meskipun ada hal yang terkesan dipaksakan tentang sejarah keluarga mereka, terutama Sophie dan ibunya. Mungkin aku akan bahas ini di kelebihan dan kekurangan saja.
Adegan peperangan di sini cukup menegangkan, meskipun belum terlalu bisa kubayangkan secara epik, entah penyampaian yang kurang atau memang kemampuan imajinasiku kurang mumpuni? Masalahnya embel-embel 'darah muncrat kemana-mana' sudah tidak mengusikku sama sekali, jadi ... apa dong? Aku hanya berharap ada sedikit bumbu lagi dalam adegan peperangan, mungkin seperti adegan srang-sring-srang-sring pedang? Wait ... nanti malah jadi sinetron Insodiar lagi.
Overall, dari semua seri The School For Good and Evil, buku jilid ke-3 adalah kesukaanku, karena di sini, semua kejanggalan di dua buku awal terjawab sudah, tidak ada lagi protes, tidak ada lagi pertanyaan. "Lho kok begini ... kok begitu ...." Kalau memang masih ada, berarti kalian tidak sungguh-sungguh membaca.
Itu ternyata membuahkan hasil juga. Aku bisa membaca dengan khuyuk, plus berat badanku turun sekitar satu setengah kilo. Yeeeeyyy. Bagi siapa pun yang mau menurunkan berat badan bisa juga dengan metode ini. Baca buku yang begitu menarik sampai lupa makan dan minum. Omong-omong minum, itu juga menjadi efek sampingnya. Bibirku kering dan lemas lesu karena tidak minum seharian.
Saran dariku, bawalah seliter air putih dingin untuk menemani baca kalian, tapi jangan, sekali lagi JANGAN membawa camilan (kalau niat kalian untuk diet) Kalau kalian merasa tubuh sudah ibarat model Victoria Secret sih itu terserah kalian.
Percakapan di atas barusan adalah semata-mata penggambaranku tentang betapa bagusnya buku ini. Bahkan membuatku sampai lupa dunia karena terlalu fokus terjun ke dalam petualangan Sophie dan Agatha. Tidak ada yang lebih baik selain buku bagus. Membaca itu menyenangkan, itu menurutku kalau bagi kalian tidak, mungkin kalian salah pilih buku. -Impy Island 2019-2110-
Mungkin segitu dulu review kali ini. Untuk yang selanjutnya aku berharap Bhuana Sastra cepat-cepat menerjemahkan buku ke-5, karena Om Soman sedang dalam proses pengerjaan buku ke-6. Jangan sampai kita ketinggalan lagi, kan? Impy Island undur diri. Semoga review ini memberi manfaat untuk kalian.
Sampai jumpa lagi ^O^/
Penerbit : Bhuana Sastra
ISBN : 978-602-394-211-4
Tebal : 732 Halaman
Rating Pribadi : 4,8 Stars
Blurb :
Sophie bimbang. Apakah benar, cinta sejatinya adalah Sang Guru? Jika dia menerima pinangan Sang Guru, Kejahatan akan merajalela. Bukankah ia sudah berusaha keras menjadi baik? Agatha merasa hubungannya dengan Tedros malah semakin menjauh. Pertengkaran pun mewarnai hari-hari mereka. Hingga mereka menyadari satu persamaan yang menyatukan mereka, Sophie. Mereka bertekad untuk menyelamatkan Sophie.
Misteri demi misteri terungkap dan kebenaran mulai tersibak. Takdir yang menautkan Sophie dan Agatha memang dituliskan dari jauh sebelumnya. Manakah yang akan dipilih Sophie? Tetap bersama Sang Guru dan membiarkan Kejahatan menang? Ataukah memilih membantu Agatha, sahabat terbaiknya dan Kebaikan untuk menang?
MENGANDUNG SPOILER!!!
A. Sudah Resmi Menikah
Hai Guys ... Impy Island di sini. Seperti janjiku sebelumnya, aku akan menyelesaikan review The School For Good and Evil Series sebelum beralih ke buku lain. Sebenarnya aku membaca buku ini pertama tahun 2017, sudah cukup lama juga ya. Terakhir aku membaca jilid ke-4 nya pertengahan tahun ini, butuh waktu yang cukup lama untuk penerbit menerjemahkan buku ini. Bukan masalah besar, asal konsisten saja sampai tamat, karena aku akan sangat kecewa kalau tiba-tiba berhenti di tengah jalan T_T.Kembali ke review. Aku sudah resmi menikah dengan The School For Good and Evil, jadi meskipun sampulnya tidak menarik, aku akan tetap membelinya, alias mencintai apa adanya. Namun, tahukah kalian, ternyata sampul jilid ke-3 jauh dari kata jelek. Sebaliknya ... SEMPURNA! Kalian bisa lihat, wajah sampul masih dihiasi Agatha dan Sophie, dua gadis kesayangan kita bersama masing-masing angsa mereka Hitam dan Putih. Kalau biasanya putih melambangkan kebaikan, coba tebak ... di buku ini peraturan itu tidak berlaku.
Dalam sampul juga terlihat jelas bahwa akan terjadi peperangan dahsyat antar Kebaikan dan Kejahatan, yang dipimpin langsung oleh Tedros dan Sang Guru. Kemudian apa lagi yang kira-kira bisa kita analisa pada sampul di atas? Agatha yang sudah resmi menjadi ikon kebaikan, serta Sophie yang sudah resmi menjadi Ratu Kejahatan. Apakah itu benar-benar takdir akhir mereka? Apakah mereka ikhlas menerimanya kali ini?
B. Ngomongin Anu
Buku ini terbagi menjadi tiga bagian, makanya bisa sampai setebal 700 halaman lebih, tapi percayalah isinya tidak ada yang membosankan, sangat padat dan sarat makna, semuanya penting, tidak bisa kalian baca longkap-longkap demi menghabiskannya dalam satu hari. Terlewat satu halaman saja, kalian akan tersesat ke dalam labirin cerita.Bukan lagi hanya tentang Agtha si anak jelek yang menjadi seorang putri, bukan juga tentang Sophie yang berusaha keras menjadi baik, padahal dia sudah jelas-jelas jahat. Bukan juga tentang Tedros dengan segala tingkah bodohnya. Di sini semua hal diperdalam dan diungkap ke permukaan. Kenapa dongeng Sophie dan Agatha begitu sulit mencapai akhir. Kenapa sangat sulit bagi mereka untuk menemukan akhir bahagia.
Ditambah kembalinya serikat 13 yang berisi pahlawan-pahlawan dongeng untuk melawan zombie-zombie antagonis mereka. Sayangnya, pertempuran antar dongeng yang seharusnya epik tidak bisa terlaksana karena para pahlawan sudah ... terlalu tua untuk berperang. Mau dikata apa? Begitu lama kisah mereka tamat, bahkan ada yang sampai ratusan tahun. Tiba-tiba tanpa diundang para penjahat bangkit dan protes kenapa mereka kalah? (Ya makanya jangan jahat!!!)
Masalah keluarga yang pelik antara Sophie dan Agatha juga menjadi poin penting dalam cerita. Begitu juga masalah keluarga Tedros yang akan mengubah jalan pikir kita tentang Si Pangeran Labil itu. Meskipun ada hal yang terkesan dipaksakan tentang sejarah keluarga mereka, terutama Sophie dan ibunya. Mungkin aku akan bahas ini di kelebihan dan kekurangan saja.
Adegan peperangan di sini cukup menegangkan, meskipun belum terlalu bisa kubayangkan secara epik, entah penyampaian yang kurang atau memang kemampuan imajinasiku kurang mumpuni? Masalahnya embel-embel 'darah muncrat kemana-mana' sudah tidak mengusikku sama sekali, jadi ... apa dong? Aku hanya berharap ada sedikit bumbu lagi dalam adegan peperangan, mungkin seperti adegan srang-sring-srang-sring pedang? Wait ... nanti malah jadi sinetron Insodiar lagi.
Overall, dari semua seri The School For Good and Evil, buku jilid ke-3 adalah kesukaanku, karena di sini, semua kejanggalan di dua buku awal terjawab sudah, tidak ada lagi protes, tidak ada lagi pertanyaan. "Lho kok begini ... kok begitu ...." Kalau memang masih ada, berarti kalian tidak sungguh-sungguh membaca.
C. Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan The School For Good and Evil (Jilid3)- Mustahil rasanya tidak berkaca-kaca atau terenyuh begitu membaca sejarah keluarga-keluarga tokoh utama.
- Bukan hanya berfokus kepada tokoh utama. Di sini (sebenarnya dari buku pertama, sih) ada banyak kisah tokoh-tokoh lain yang kemunculannya sangat kita tunggu. Tergantung ke mana kalian memihak, untuk para Shipper tokoh novel, ada banyak pasangan-pasangan yang berpotensi di sini.
- Kalian sudah yakin siapa yang baik dan siapa yang jahat sejauh ini? Well kalian masih salah ... cobalah posisikan diri kalian dengan baik sebagai tokoh di sini, kalian akan tahu, manusia adalah makhluk dengan pemikiran yang begitu rumit. Soman Chainani sukses menggambarkan itu.
- Tidak ada Marry Sue ataupun Gerry Stu dalam setiap kisah Om Soman, dia memahami betul cara penokohan yang baik.
- Akan ada satu adegan di mana kalian akan merasa sangat iba dengan Agatha, bacalah buku ini dengan khusuk, buku ini di buat begitu tebal bukan untuk ajang pamer baca cepat, melainkan untuk dimengerti.
- Buku ini nyaris sempurna sampai tidak ada kekurangan, tapi pastilah ada beberapa. Berikut ini ....
- Diceritakan Ibu Sophie sangat jelek sampai tidak ada yang menyukainya, tapi setelah melahirkan Sophie yang cantik, dia malah menggunakan berbagai macam obat dan ramuan buatan rumah yang bisa membuat dirinya cantik, agar mirip dengan sang anak.
- Pertanyaanku adalah. Kenapa? Kenapa tidak memakai cara itu saja sejak awal? Rawat diri menjadi cantik kalau memang ahli membuat ramuan mempercantik diri sehingga orang-orang menyukainya. Kenapa harus menunggu sampai mempunyai anak yang cantik untuk merawat diri menjadi cantik?
D. Penutup
Mengingat buku ini sangat tebal yang berarti membuatku harus membaca lebih lama, tapi tahukah kalian? Nyatanya aku hanya butuh dua hari untuk membaca buku ini, aku membacanya nonstop di hari Sabtu dan Minggu. Ya ... memang sudah kurencanakan membaca di hari itu, agar punya banyak waktu luang. Semua orang kuabaikan selama dua hari. Aku mengurung diri di kamar, bersemedi bersama buku kesayanganku.Itu ternyata membuahkan hasil juga. Aku bisa membaca dengan khuyuk, plus berat badanku turun sekitar satu setengah kilo. Yeeeeyyy. Bagi siapa pun yang mau menurunkan berat badan bisa juga dengan metode ini. Baca buku yang begitu menarik sampai lupa makan dan minum. Omong-omong minum, itu juga menjadi efek sampingnya. Bibirku kering dan lemas lesu karena tidak minum seharian.
Saran dariku, bawalah seliter air putih dingin untuk menemani baca kalian, tapi jangan, sekali lagi JANGAN membawa camilan (kalau niat kalian untuk diet) Kalau kalian merasa tubuh sudah ibarat model Victoria Secret sih itu terserah kalian.
Percakapan di atas barusan adalah semata-mata penggambaranku tentang betapa bagusnya buku ini. Bahkan membuatku sampai lupa dunia karena terlalu fokus terjun ke dalam petualangan Sophie dan Agatha. Tidak ada yang lebih baik selain buku bagus. Membaca itu menyenangkan, itu menurutku kalau bagi kalian tidak, mungkin kalian salah pilih buku. -Impy Island 2019-2110-
Mungkin segitu dulu review kali ini. Untuk yang selanjutnya aku berharap Bhuana Sastra cepat-cepat menerjemahkan buku ke-5, karena Om Soman sedang dalam proses pengerjaan buku ke-6. Jangan sampai kita ketinggalan lagi, kan? Impy Island undur diri. Semoga review ini memberi manfaat untuk kalian.
Sampai jumpa lagi ^O^/
Comments
Post a Comment