William
Penulis : Risa Saraswati
Penerbit : Bukune
ISBN : 978-602-220-226-4
Tebal : 206 Halaman
Rating Pribadi : 4 Stars
Blurb :
William Van Kemmen adalah seorang anak kecil yang tampan, apalagi dengan biola yang selalu menemaninya. Namun, dalam hatinya ia merasa kesepian. Semua karena perpindahan keluarganya ke Hindia-Belanda. Kini matanya kosong karena kesedihan, tidak ada yang mau berteman dengannya.
Setelah kematian menyapa, barulah dia merasa bahagia. Akhirnya dia berteman dengan Peter si anak nakal, Hendrick yang congkak, Hans yang perasa, dan Janshen si ompong, hingga Risa si anak manusia yang bisa melihat hantu.
Ini adalah kisah tentangnya, kisah yang selama ini William dekap dengan erat. Siapkah kamu mendengarkan rahasia terdalamnya?
Ada juga hal yang aku aku langsung sadari dari buku ini, tepatnya di bagian blurb. Sejauh Teh Risa menggambarkan teman-teman hantunya di blurb buku, tidak pernah ia memuji mereka tampan. Memang Teh Risa juga menggambarkan Hendrick tampan di dalam buku, tapi bukan di blurb, dan dia seolah tidak terima mengatakan itu. (Soalnya si Hendrick juga tengil sih!)
Aku langsung melompat pada kesimpulan bahwa di antara semua teman hantunya, Teh Risa paling sayang dengan William, entah dari fisik atau sifatnya yang digambarkan paling dewasa. Ya, aku juga nggak menyalahkan dia, tapi William itu emang punya kharisma gitu, loh. Dari namanya saja sudah kelihatan.
Latar belakang sampul yang gelap mungkin menggambarkan masa lalu William yang gelap, sehingga ia malah merasa bahagia ketika sudah meninggal. Hello ... Will, semenderita itukah hidupmu sampai kamu malah merasa senang ketika sudah mati? Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku akan memulai kisah William. Mungkin harus mempersiapkan tisu dan camilan, takut tiba-tiba buku ini menjadi sangat emosional.
Serius belom pernah aku sekesal ini dengan satu tokoh antagonis yang ironinya adalah keluarga kandung ... ekhem ... emak sendiri! William baru 9 tahun, dia nggak pantes diperlakukan begitu. Semua yang dicintainya, semua yang bisa membuatnya bahagia direnggut oleh emaknya yang hesemeleh itu. Bapakenya gimana?
Jangan tanya, deh ... bapak-bapak bucin itu nggak ada guna! Ngomong doang sayang William, nomong doang pengen ngeliat anaknya bahagia, tapi tindakan nggak ada. Ini salah satu dari banyak contoh kalau bucin itu adalah prilaku yang sangat, sangat, sangat, sangat buruk. Stop bucin! Cintai seseorang dengan akal sehat! Serius, deh, kalian akan ikut merasakan bagaimana sakit hatinya William di sini.
Aku sebagai wanita dewasa berkepala dua, dan dia anak kecil 9 tahun, tapi kok dia kayak lebih dewasa menghadapi situasi itu daripada aku? Why? Apakah aku se-immature itu? Atau William yang terlalu dewasa untuk anak seusianya? Intinya, sepanjang buku rasanya aku mau peluk anak itu, karena aku juga nggak tahu kata-kata apa yang bisa menenangkan dia.
William jarang tersenyum, karena dalam hidupnya memang tidak ada alasan untuk tersenyum. Ada satu adegan yang sangat menceloskan hatiku ke palung paling dalam, sebuah adegan yang belum bisa aku lupakan sampai sekarang. Kalian bisa baca sendiri dan pilih adegan mana yang menjadi favorit kalian, karena semuanya seolah mempermainkan perasaan kita.
Benar-benar pengalaman paling menyedihkan selama aku membaca buku teman-teman hantu Teh Risa. Maksudku ... setidaknya Peter, Hendrick, dan Hans sempat merasakan indahnya sebuah keluarga harmonis. Tapi Will tidak. Dia sendirian sepanjang hidupnya, sampai akhirnya sebuah tragedi pahit terjadi.
Tunggu dulu ... mungkin tragedi itu justru terasa manis bagi Will, mengingat, anak itu tidak pernah merasa bahagia ketika hidup. Kematian justru menenangkan jiwanya.
Seperti menaiki sebuah rollercoaster, perasaan kita dibawa menanjak, menurun, berputar, meliuk, pokoknya seru. Kisan ini tidak melulu sedih, itu lah nilai lebihnya. Setiap kali William merasa bahagia, orang tuanya selalu merenggut kebahagian itu, seolah tidak ingin anak mereka bahagia sama sekali.
Sedihnya di zaman modern seperti sekarang, masih banyak orangtua-orangtua seperti orangtua William. Mereka terlalu banyak menuntut, ingin begini-ingin begitu, sampai lupa bahwa anak mempunyai keinginan sendiri, setiap anak tidak pernah sama. Biarkan mereka melakukan apa yang mereka suka, selama itu membuat mereka bahagia.
Hidup anak-anak memang tanggung jawab orang tua, tapi bukan berarti orangtua berhak menyetel anak menjadi sesuatu yang mereka inginkan, anak bukan robot, anak berhak dicintai dan diperhatikan. Anak adalah titipan Tuhan, jagalah mereka sebaik-baiknya.
Mungkin segitu dulu review dariku. Review yang kutulis sambil berlinang air mata ini T_T. Semoga review ini bisa bermanfaat untuk kalian semua. Sampai jumpa di review selanjutnya, mungkin juga yang terakhir dari seri Teh Risa untuk sementara. Janshen. ^O^/
Penerbit : Bukune
ISBN : 978-602-220-226-4
Tebal : 206 Halaman
Rating Pribadi : 4 Stars
Blurb :
William Van Kemmen adalah seorang anak kecil yang tampan, apalagi dengan biola yang selalu menemaninya. Namun, dalam hatinya ia merasa kesepian. Semua karena perpindahan keluarganya ke Hindia-Belanda. Kini matanya kosong karena kesedihan, tidak ada yang mau berteman dengannya.
Setelah kematian menyapa, barulah dia merasa bahagia. Akhirnya dia berteman dengan Peter si anak nakal, Hendrick yang congkak, Hans yang perasa, dan Janshen si ompong, hingga Risa si anak manusia yang bisa melihat hantu.
Ini adalah kisah tentangnya, kisah yang selama ini William dekap dengan erat. Siapkah kamu mendengarkan rahasia terdalamnya?
MENGANDUNG SPOILER!!!
A. Kesayangan Penulis
William! Akhirnya kita sampai pada William! Entah kenapa nama ini yang paling menarik perhatianku, mungkin karena ada bumbu-bumbu kerajaan Inggris di dalamnya? (Next!). Aku cukup kaget melihat sampul William pertama kali. Kok gelap dan simple gini ya? Seolah ilustrator dan Teh Risa ingin kita fokus pada si William dan biolanya aja gitoh ....Ada juga hal yang aku aku langsung sadari dari buku ini, tepatnya di bagian blurb. Sejauh Teh Risa menggambarkan teman-teman hantunya di blurb buku, tidak pernah ia memuji mereka tampan. Memang Teh Risa juga menggambarkan Hendrick tampan di dalam buku, tapi bukan di blurb, dan dia seolah tidak terima mengatakan itu. (Soalnya si Hendrick juga tengil sih!)
Aku langsung melompat pada kesimpulan bahwa di antara semua teman hantunya, Teh Risa paling sayang dengan William, entah dari fisik atau sifatnya yang digambarkan paling dewasa. Ya, aku juga nggak menyalahkan dia, tapi William itu emang punya kharisma gitu, loh. Dari namanya saja sudah kelihatan.
Latar belakang sampul yang gelap mungkin menggambarkan masa lalu William yang gelap, sehingga ia malah merasa bahagia ketika sudah meninggal. Hello ... Will, semenderita itukah hidupmu sampai kamu malah merasa senang ketika sudah mati? Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku akan memulai kisah William. Mungkin harus mempersiapkan tisu dan camilan, takut tiba-tiba buku ini menjadi sangat emosional.
B. Ngomongin Anu
Kalian tahu apa yang pertama kali aku rasakan ketika membaca buku ini? Aku bersyukur kepada Yang Maha Kuasa karena telah memberikanku orangtua yang sangat baik. Meskipun mamake suka marah-marah, meskipun bapake suka gak jelas kelakuannya, tapi aku sayang mereka, dan aku tahu mereka juga. Namun, yang di dapatkan William sebagai orangtuanya adalah ... Emak-emak gila hormat, dan bapak-bapak bucin.Serius belom pernah aku sekesal ini dengan satu tokoh antagonis yang ironinya adalah keluarga kandung ... ekhem ... emak sendiri! William baru 9 tahun, dia nggak pantes diperlakukan begitu. Semua yang dicintainya, semua yang bisa membuatnya bahagia direnggut oleh emaknya yang hesemeleh itu. Bapakenya gimana?
Jangan tanya, deh ... bapak-bapak bucin itu nggak ada guna! Ngomong doang sayang William, nomong doang pengen ngeliat anaknya bahagia, tapi tindakan nggak ada. Ini salah satu dari banyak contoh kalau bucin itu adalah prilaku yang sangat, sangat, sangat, sangat buruk. Stop bucin! Cintai seseorang dengan akal sehat! Serius, deh, kalian akan ikut merasakan bagaimana sakit hatinya William di sini.
Aku sebagai wanita dewasa berkepala dua, dan dia anak kecil 9 tahun, tapi kok dia kayak lebih dewasa menghadapi situasi itu daripada aku? Why? Apakah aku se-immature itu? Atau William yang terlalu dewasa untuk anak seusianya? Intinya, sepanjang buku rasanya aku mau peluk anak itu, karena aku juga nggak tahu kata-kata apa yang bisa menenangkan dia.
William jarang tersenyum, karena dalam hidupnya memang tidak ada alasan untuk tersenyum. Ada satu adegan yang sangat menceloskan hatiku ke palung paling dalam, sebuah adegan yang belum bisa aku lupakan sampai sekarang. Kalian bisa baca sendiri dan pilih adegan mana yang menjadi favorit kalian, karena semuanya seolah mempermainkan perasaan kita.
Benar-benar pengalaman paling menyedihkan selama aku membaca buku teman-teman hantu Teh Risa. Maksudku ... setidaknya Peter, Hendrick, dan Hans sempat merasakan indahnya sebuah keluarga harmonis. Tapi Will tidak. Dia sendirian sepanjang hidupnya, sampai akhirnya sebuah tragedi pahit terjadi.
Tunggu dulu ... mungkin tragedi itu justru terasa manis bagi Will, mengingat, anak itu tidak pernah merasa bahagia ketika hidup. Kematian justru menenangkan jiwanya.
C. Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan William- Entah harus mulai dari mana untuk membicarakan kelebihan buku William. Bukan karena aku suka dengan anak ini ... tapi sungguh kisah William-lah yang paling menyayat hati.
- Alur yang singkat tapi tidak terburu-buru, dan cara penyampaian Teh Risa yang perfekto benar-benar membuat cerita ini susah dilupakan.
- Baik tokoh protagonis maupun antagonis dalam cerita ini benar-benar memorable. Mungkin karena ini 'pernah' menjadi kisah nyata, tokoh-tokoh di dalam buku ini (di setiap buku Teh Risa tepatnya) tidak lebay. Mereka natural sebagaimana manusia pada umumnya.
- Untuk segi cerita aku tidak menemukan kesalahan yang berarti, aku berusaha seobjektif mungkin di sini, tapi tetap tidak menemukannya. Aku suka sekali buku ini.
- Namun, ada beberapa gaya penulisan yang melenceng dari PUEBI, seperti tanda baca yang terlampau banyak, atau mungkin huruf yang digandakan terlalu banyak. Itu cukup menggangguku, yap ... benar-benar hanya itu.
D. Penutup
Sudah resmi ... William adalah buku favoritku, juga tokoh favoritku. Bukan berarti aku tidak suka yang lain, aku menyukai semua anak-anak ini. Sangat. Tapi jika aku harus memilih satu, maka aku akan memilih William. Buku ini lebih tipis dari Hans dan Hendrick, dan sedikit lebih tebal dari Peter, tapi kisahnya benar-benar padat, dan penuh emosi.Seperti menaiki sebuah rollercoaster, perasaan kita dibawa menanjak, menurun, berputar, meliuk, pokoknya seru. Kisan ini tidak melulu sedih, itu lah nilai lebihnya. Setiap kali William merasa bahagia, orang tuanya selalu merenggut kebahagian itu, seolah tidak ingin anak mereka bahagia sama sekali.
Sedihnya di zaman modern seperti sekarang, masih banyak orangtua-orangtua seperti orangtua William. Mereka terlalu banyak menuntut, ingin begini-ingin begitu, sampai lupa bahwa anak mempunyai keinginan sendiri, setiap anak tidak pernah sama. Biarkan mereka melakukan apa yang mereka suka, selama itu membuat mereka bahagia.
Hidup anak-anak memang tanggung jawab orang tua, tapi bukan berarti orangtua berhak menyetel anak menjadi sesuatu yang mereka inginkan, anak bukan robot, anak berhak dicintai dan diperhatikan. Anak adalah titipan Tuhan, jagalah mereka sebaik-baiknya.
Mungkin segitu dulu review dariku. Review yang kutulis sambil berlinang air mata ini T_T. Semoga review ini bisa bermanfaat untuk kalian semua. Sampai jumpa di review selanjutnya, mungkin juga yang terakhir dari seri Teh Risa untuk sementara. Janshen. ^O^/
Comments
Post a Comment