Saturday Class

 

Anak-Anak paling bermasalah di Sekolah





Sabtu adalah hari sakral bagi para pelajar, bahkan mungkin bagi setiap orang di dunia, sebagai awal akhir pekan yang sangat singkat. Enaknya, akhir pekan dihabiskan dengan bersantai seharian, atau sekadar jalan-jalan bersama teman.

Namun, nasib Arial tidak sebagus itu. Di Sabtu pagi. Di mana seharusnya ia masih tertidur lelap di kasur dengan air liur di pipi, sekarang pemuda itu malah sedang tertidur lelap di meja ruang rapat guru dengan air liur di pipi.

Arial tidak sendirian. Di dalam ruangan persegi kecil berisi lima buah meja dan bangku, anak berambut gondrong itu ditemani tiga orang lain. Mereka semua nampak sibuk dengan kegiatan tidak jelas masing-masing.

Di bangku paling depan ada perempuan modis dengan rambut keemasan panjang nan lurus yang sedang meneliti kuku-kuku lentiknya. Tepat di belakang perempuan itu, ada laki-laki klimis, kurus, dan jangkung, mata hitam-beloknya fokus meneliti detik jam dinding dengan mulut menganga.

Sementara di bangku paling belakang, ada anak perempuan lain yang juga sedang membenamkan wajah pada meja. Namun, kelihatannya ia bukan sedang tidur, mulutnya terus menggumamkan sesuatu.

Mereka berempat tidak saling bicara, bahkan tidak saling sapa. Sejujurnya, tidak ada satu pun dari mereka saling kenal, bertatap wajah pun sepertinya tidak pernah. Hal pertama yang Arial ucapkan ketika masuk ke ruangan itu adalah.

"Wow, bagaimana mungkin bukan cuma aku yang ada di sini!" Sambil menatap si gadis modis ia berkedip. "Hai, cantik."

Gadis itu bergidik, walaupun diam-diam meneliti mata si genit yang ternyata cukup indah. Arial juga iseng menyapa si kurus, dan si aneh. Meskipun hanya mendapatkan jawaban dari si kurus.

Pemuda urakan itu sempat duduk, dan bermain-main dengan pensil selama beberapa menit, sampai akhirnya tidak tahan juga dengan rasa bosan, dan tertidur cukup lelap. Ia bahkan mendapatkan sebuah mimpi gila.

Mimpi indahnya terganggu begitu pintu ruangan menjeblak terbuka, membuat semua mata terfokus ke sana. Mr.Oliver—si guru galak—tersungut-sungut mencekik tengkuk seorang pemuda lain yang berpostur atletis.

Dia sangat tinggi dan kekar, wajahnya pun tampan. Namun, sorot mata Mr.Oliver saat menatap pemuda itu, seolah sedang melihat seekor kecoak yang harus segera digepengkan dengan telapak kaki.

"Apa yang kau lakukan di toilet, Eddy?" geram Mr.Oliver.

"Maaf, Mr. ... semua orang berhak memiliki privasi saat berada di toilet, dan kita wajib menghargai itu." Malah si kurus yang menjawab.

"Begitu, ya, David ...," imbuh Mr.Oliver melihat betapa bangganya wajah si kurus saat mengatakan itu. "Tolong jelaskan padaku, privasi apa yang kira-kira dilakukan seorang laki-laki di dalam toilet perempuan?"

Arus wajah David berubah detik itu juga.

"Privasi untuk menjadi orang mesum," ketus si cewek modis.

Arial menyahut dengan tawa keras yang dibuat-buat, sebagai sindiran betapa tidak lucunya kalimat itu. Sementara si pemuda atletis di depan mengulum senyum.

"Simpan cengar-cengirmu, Eddy! Cepat ambil tempat duduk!"

Begitu Mr.Oliver melepaskan cengkramannya, Eddy berdecih, lalu menghampiri bangku kosong di sebelah si cewek modis.

"Boleh aku duduk di sini?"

"Menurutmu?" jawab gadis itu sambil melirik sekitar keheranan, karena memang hanya itu satu-satunya bangku yang tersisa.

"Kalau tidak boleh, kau bisa duduk di pangkuanku," celetuk Arial sambil menepuk-nepuk pahanya.

Eddy tersontak mendengar itu, dan meringis. "Lebih baik berdiri sampai kakiku patah daripada harus duduk di situ!"

"Kenapa? Aku bukan tipemu, ya?" lanjut Arial dengan nada merajuk. "Sayang sekali, padahal kamu tipeku banget."

David terkikik melihat ekspresi jijik Eddy, bahkan punggung si gadis aneh di bangku belakang terguncang menahan tawa hanya mendengar percakapan mereka.

"Cepat duduk, Eddy. Aku punya pidato penting untuk kalian semua!"

"Yey, aku suka pidato!" sorak Arial dengan wajah datar.

Mr.Oliver tidak memedulikan sindiran itu dan berdeham. "Masing-masing dari kalian pasti mengetahui alasan kenapa kita bisa ada di sini sekarang."

"Tidak juga!"

"Kali ini aku tidak akan menghukum kalian, atau memberi kalian tugas tambahan, atau menyuruh kalian membersihkan seluruh sekolah, meskipun kalian sangat pantas menerimanya," lanjut pria itu.

"Aku hanya ingin kalian berpikir, gunakan waktu luang yang melimpah ini untuk merenungkan kesalahan kalian. Mungkin kalian bisa saling berbagi, mungkin masalah akan cepat selesai jika kalian menceritakannya kepada orang lain."

"Dengan kata lain, kau ingin kami saling membeberkan aib pribadi?" tanya David.

Belum sempat Mr.Oliver menjawab, sebuah suara lirih terdengar dari bangku paling belakang. "Aib pribadiku adalah, suka mengorek hidung dengan jempol kaki."

Ketika semua mata memandangnya keheranan, gadis aneh itu perlahan membenamkan kembali kepalanya di atas meja.

Sekali lagi Mr.Oliver berdeham, berusaha tidak acuh. "Kalian pasti pernah mendengar sebuah pepatah berbunyi 'berat sama dipikul, ringan sama dijinjing', yang artinya setiap masalah akan terasa ringan jika diselesaikan bersama-sama."

"Omong kosong! Kami bahkan tidak saling kenal!" seru Eddy.

"Lalu apa gunanya aku menyatukan kalian di ruangan terkutuk ini kalau bukan untuk saling kenal!" bentak Mr.Oliver.

"Saat ini orang tua kalian percaya anak-anak mereka sedang mengikuti pelajaran tambahan, tapi untuk sekarang aku hanya ingin kalian merenung. Jangan membuat suara, jangan jalan-jalan, bahkan jangan bergeser selangkah pun dari tempat duduk ...."

"Bagaimana kalau mau ke toilet?" sela Arial entah untuk yang keberapa kalinya.

"Jangan berbuat yang aneh-aneh sampai waktu makan siang tiba. Kalian akan pulang pukul empat sore," lanjut Mr.Oliver seolah Arial hanyalah anjing yang sedang menggong-gong.

"Baiklah, aku akan pipis di pojokan saja."

Tidak ingin mendengar lebih banyak protes, maupun celetukkan aneh, pria itu melangkah keluar dari ruangan, menyisakan kecanggungan yang tidak wajar. Arial mulai menepuk-nepuk meja seperti kendang, sementara Eddy melirik ragu-ragu ke kiri dan kanan.

Pemuda itu pikir ia sudah mengetahui seluruh penghuni sekolah, mengingat jabatannya sebagai kapten Football sekaligus wakil komite. Nyatanya, orang-orang di sekelilingnya sekarang berwajah asing. Apakah mereka berasal dari planet lain?

"Um ... baiklah, karena Mr.Oliver ingin kita saling kenal, kenapa tidak melakukannya, benar? Namaku David, Mr.Oliver sudah menyebutkannya tadi ...."

"Mau-maunya kau diperintah pak tua itu. Memang kau ini budaknya?" ketus Arial. Kakinya berselonjor ke atas meja.

"Bukan begitu ... menurutku tidak ada salahnya menambah pergaulan. Jujur saja hampir dua tahun bersekolah di sini aku tidak pernah melihat wajah kalian sekali pun." David terkekeh, tapi tidak ada yang menyambut, jadi ia kembali diam.

"Aku juga tidak tertarik bertemu orang-orang macam kalian," gumam gadis modis di bangku depan.

Arial menoleh, tak suka. "Oh, masa, Tuan Putri? Memangnya ada apa dengan kami? Hidungmu ingusan karena menghirup oksigen yang sama dengan kami?"

Eddy mengangkat tangan, meminta perhatian. "Bukan bermaksud sombong, tapi ... masa, sih kalian tidak mengenalku? Aku ini bisa di bilang ratu sekolah ... versi laki-laki."

"Mungkin maksudmu Raja?" koreksi David.

"Terus kenapa?" Arial berseru, geram. "Mungkin kau Raja sekolah, mungkin si Cherry di bangku depan itu Ratumu, mungkin si Kerempeng ini atlet catur. Tapi demi Tuhan! Kenapa aku harus peduli? Sialan, aku mau pulang!!!" Pemuda itu mengacak rambut.

Arial merogoh saku, dan mengeluarkan sebatang rokok, lantas menyalakannya tanpa ragu-ragu. Asap mulai membumbung dari mulutnya seperti lokomotif uap .

"Mungkin kau tidak sadar ... tapi ini ruangan ber-Ac! Artinya dilarang merokok!" hardik David.

Arial tidak menjawab, malah mengembuskan asap ke arah pemuda itu, dan membuatnya terbatuk-batuk. Semua mata menatapnya dengan sangsi, kecuali si gadis aneh di belakang. Dia masih sibuk dengan dunia sendiri.

"Kau dibesarkan di kolong jembatan, ya?" sindir si modis. "Orangtuamu tidak pernah mengajarimu tata krama?

Arial menurunkan kakinya dari atas meja. "Jadi begini, Manis ...."

"Berhenti memanggilku dengan sebutan menjijikkan, namaku Amber!"

"Jadi begini, Amber ...," lanjut pemuda itu dengan santai. "Tebakanmu benar. Aku tidak pernah diajari tata krama. Malahan orangtuaku tidak pernah mengajari apa-apa. Aku melihat sendiri kematian mereka, ketika gempa di Broadlin tahun 2004. Usiaku sembilan saat itu."

Arus wajah Amber melunak mendengar pengakuan itu. Ia langsung memalingkan wajah ke lantai.

"Hei, Ayah dan Ibu! Lihat aku direndahkan Ratu sekolah gara-gara kalian!" teriak Arial sambil menengadah seolah bicara pada langit.

"Aku benar-benar minta maaf ...," lirih Amber, pertama kalinya tanpa nada sinis.

Tidak ada yang bicara selama beberapa menit. Bahkan Arial ditenangkan dengan pikirannya. Sampai David kembali membuka percakapan. Pemuda itu berbalik menatap gadis aneh di bangku paling belakang.

"Bagaimana denganmu? Siapa namamu?"

Tidak ada jawaban, padahal semua mata memandangnya, diam-diam penasaran juga dengan gadis itu. Sejak pertama datang, ia tidak berkata apa-apa selain gumaman rendah yang tidak bisa dimengerti. Arial saja segan menggodanya.

"Jadi ... tidak ada jawaban?" kata David. "Itu agak tidak adil ... kau tahu nama kami semua, tapi kami tidak tahu namamu."

Akhirnya si aneh mengangkat kepala, kulitnya sepucat mayat, bibirnya merah muda, entah itu keuntungan atau kerugian karena membuatnya semakin terlihat seperti manekin. "Kalau sudah tahu pun apa gunanya untukmu?"

David mengangkat bahu. "Untuk menyapa?"

"Memang kau yakin kita akan saling menyapa setelah ini?"

"Mungkin saja. Tidak ada salahnya menambah teman, 'kan? Apa cuma aku yang berpikir kita bisa berteman?" Pemuda itu memandang yang lain.

"Sepertinya memang cuma kau. Pergaulan kita berbeda, hanya karena kita berkumpul hari ini, bukan berarti kita langsung menjadi sahabat sejati," jawab Amber. Eddy mengangguk menyetujui.

"Kalau boleh tahu kenapa kau bisa ada di sini, Cupu? Kau kelihatan seperti anak baik hati, tidak sombong, serta teladan. Taruhan, kau pasti pernah memenangkan cerdas cermat." Arial memicingkan mata kepada David.

Pemuda kurus itu langsung gelagapan, matanya menerawang ke arah lain, tidak berani menatap balik pada Arial, sementara ia terus menatap tajam.

"Ayo jawab! Tadi kau bilang ingin berteman. Kenapa kita tidak mulai saja dari ceritamu!"

David masih menunduk. "Aku ... tidak tahu. Maksudku ... tidak mau ... memulai."

"Ayolah, kita kan calon sahabat, masa main rahasia. Kenapa Anak Mami sepertimu bisa mendapatkan hukuman hina ini? Apa kejahatan yang kau lakukan?"

Tak tahan melihat David gelisah, sementara Arial terus saja menekan. Akhirnya Eddy mengambil alih.

"Kau sendiri ... kenapa bisa ada di sini, Mulut Besar?"



Bersambung .... 



Comments

Impy's all-time-fav book montage

The School for Good and Evil
A World Without Princes
The Last Ever After
Quests for Glory
House of Secrets
Battle of the Beasts
Clash of the Worlds
Peter Pan
A Man Called Ove
My Grandmother Asked Me to Tell You She's Sorry
The Book of Lost Things
The Fairy-Tale Detectives
The Unusual Suspects
The Problem Child
Once Upon a Crime
Tales From the Hood
The Everafter War
The Inside Story
The Council of Mirrors
And Every Morning the Way Home Gets Longer and Longer


Impy Island's favorite books »

Baca Review Lainnya!

Ily

Matahari Minor

Aku Menyerah pada Serial Omen-nya Lexie Xu

Laut Bercerita

Novel-novel Terkutuk (Mostly Watpat)

Peter Pan

Mbah Rick Riordan Melanggar Semua Pakem dalam menulis POV1 (dan Tetap Bagus)