Bulan Merah Pulau Miranti
Penulis : Anik Sujiyati
Penerbit : Lokamedia
ISBN : 9786025509360
Tebal : 172 Halaman
Blurb :
Hal-hal aneh pun mulai mereka alami. Dari mulai melihat penampakan seorang gadis cantik, sebuah gubuk di tengah hutan, wewangian yang ganjil, kuburan, dan penampakan makhluk-makhluk mengerikan. Bukan hanya itu, mereka juga selalu mengalami mimpi yang sama tentang seorang gadis bernama Bulan.
Mereka pun berusaha mengurai semua misteri yang melingkupi Pulau Miranti sambil berusaha menemukan jalan keluar dari pulau itu. Namun, usaha mereka untuk keluar tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada harga yang harus dibayar. Yaitu ...
Nyawa salah satu dari mereka.
MENGANDUNG SPOILER!!!
A. Buku Zaman Edo
Aku mendapatkan buku ini sebagai reward sekitar tiga tahun lalu. Aku sudah membacanya, tapi saat itu belum gencar membuat review, dan entah kenapa aku tidak ingat ceritanya sama sekali. Sekarang, kesempatan membaca itu datang lagi, dan aku kehabisan buku yang bisa direview, maka aku memutuskan untuk mereview novel ini hanya dalam beberapa jam sahaja. Yah, bukunya sendiri tidak terlalu tebal, dan jarak perparagrafnya benar-benar renggang. Enak dibaca, karena tidak bikin puyeng.
Cover bernuansa gelap dan simple, aku suka. Font sederhana tapi jelas. Cover-cover dari penerbit Lokamedia memang enak dipandang mata menurutku pribadi, tidak pernah terlalu ribet atau keramean. Ekhem, ini bukan bias karena aku pernah terbit di sana. Memang cover-cover penerbit itu memang catchy. Mereka selalu berhasil membuat orang-orang judge the book by it's cover.
Nah, tanpa berbasa-basi lagi, marilah kita pergi ke review dadakan ini.
B. Plot
Bulan Merah Pulau Miranti bergenre horor, terlihat jelas dari sampul dan juga Blurb-nya. Oh-ho-ho, tapi kalian jangan tertipu dengan embel-embel pulau misterius tak berpenghuni yang angker, karena Pulau Mirantai lebih dari itu! Maksudku "lebih dari itu" di sini benar-benar LEBIH DARI ITU. Buku ini seperti gado-gado, mencampur banyak genre dan konflik ke dalam satu buku yang terlalu tipis sehingga semuanya jadi amburadul dan tidak punya tujuan jelas.
Biar kuterangkan lebih jelas.
Kisah berawal dari enam sahabat Meylisa, Nano, Dzakia, Amey, Joe, dan Ryan. Mereka traveling ke pulau indah yang tak berpenghuni bernama Pulau Miranti. Ternyata eh ternyata, pulau itu angker dan banyak penampakannya. Dimulai dari sosok wanita cantik, kuburan, gubuk misterius, bahkan kampung misterius. Sosok yang paling sering muncul, bahkan sampe ke dalam mimpi keenam sahabat itu adalah gadis bernama Bulan. Teror Bulan pun membuat keenamnya tercerai-berai dan menghadapi keanehan masing-masing, juga berusaha mengungkap misteri tentang masa lalu gadis itu.
Seharusnya buku ini membuat siapa pun merinding, bukan? Alih-alih, merinding, aku malah lebih sering merengut keheranan saking banyaknya kejanggalan dalam bukunya. Misalnya tentang usia bulan. Di satu adegan dia digambarkan seperti anak kecil, dan buku ini benar-benar menggambarkannya dengan sebutan "gadis kecil". Bulan si gadis kecil dan neneknya pun pergi mencari kayu bakar, lalu Bulan kecapekan di tengah jalan dan tertidur. Lantas adegan berikutnya Bulan sedang digoda oleh Arman. Tentu saja aku berasumsi kalau ini adegan beberapa tahun kemudian, ketika Bulan sudah remaja atau dewasa.
Bulan menolak Arman, Arman marah dan dendam. Terus Arman pun menyuruh anak buahnya menculik anak-anak dan menebar racun, supaya bisa memfitnah Bulan. Klasik horor. Eh, tiba-tiba adegan berikutnya malah Bulan si gadis kecil bangun dari tidur dan langsung didemo rakyat karena dianggap pembawa sial!
LHOOOO ... Itu si Bulan sebenarnya masih anak-anak atau udah dewasa sih? Terus itu anak buah Arman pake sihir jenis apa bisa menculik anak-anak sekampung dan bikin panen gagal dalam sekejap mata! Dan lagi warga kenapa menuduh Bulan yang sejatinya disukai banyak orang dan memang orang kampung itu dari lahir? Okelah dia difitnah Arman, dan katanya Arman tuh algojo banget. Siapa pun yang menentangnya pasti mati.
Tapi anehnya si Arman ini cuma anak pak Lurah, dan pak Lurahnya sendiri bisa dibilang baik hati. Entahlah, rasanya terlalu dipaksakan kalau tiba-tiba warga berubah bar-bar begitu cuma karena tuduhan seorang Arman. Ini entah Arman pake dukun, atau warganya emang gak ada yang punya otak. Aku lebih bisa menerima logika ceritanya kalau Arman itu semacam pemimpin, atau buat aja dia jadi raja, atau kepala desa sekalian. Daripada anak pacc Lurah yang enggak ada keren-kerennya.
Duh-duh-duh, belum lagi usaha keras novel ini dalam mewujudkan "penampakan seram". Rasanya aku lagi baca cerpen horor di buku pelajaran sekolah, atau malah cerita serem anak-anak yang lagi pada nongkrong.
Satu tokoh bakal bilang "Eh, itu apa?", dan tokoh lain bakal jawab "Apa? aku gak liat apa-apa.", terus tiba-tiba ada penampakan beneran, semua orang liat. Eh, tiba-tiba semuanya normal lagi seolah tidak ada apa-apa. Terus lagi, ini enam orang manusia demen banget berpencar, padahal mereka sadar kalau berpencar keadaan malah bertambah buruk. Bahkan mereka sendiri bilang untuk tetap bersama supaya tidak ada yang terluka. Beberapa halaman kemudian malah mencar lagi! (menghadeh)
Tapi hey ... memang itu ciri khas genre horor, bukan? Semua orangnya pada enggak ada yang mikir panjang. Barang kali efek sayton. Semua kekacauan dan penampakan membuat Dzakia terjebak di masa lalu. Dia bertemu dengan pemuda bernama Dirga, yang juga mantan terindahnya Bulan. Untuk beberapa alasan muka Dirga ini mirip buanget sama Joe. Dirga jugalah yang mengungkap misteri si Bulan. Ternyata Bulan yang malang dibunuh oleh Arman dengan cara keji.
Jasad Bulan pun dibuang, lantas ditemukan oleh Nyai Rangginang, dan dibangkitkan kembali untuk balas dendam. Tapi karena Bulan adalah anak baik hati, dia tidak mau balas dendam. Sebagai gantinya, Nyai Rangginang memasukkan arwah anaknya (Kenanga) ke dalam jasad Bulan untuk balas dendam. Jadi dia bisa balas dendam, tapi Bulan yang disalahkan gitu loh. (Mijet pelipis). Dirga juga bilang ke Dzakia, bahwa sekali orang masuk ke lorong waktu ini, dia tidak akan pernah bisa keluar sebelum kutukan menghilang.
Omong-omong, kenapa Nyai Rangginang pengen balas dendam ke warga? ENTAHLAH! Si Nyai cuma digambarkan sebagai dukun sakti. Mungkin dukun itu pernah tersakity, atau anaknya si Kenanga itu pernah dibunuh oleh warga. Namun, adegan itu tidak akan pernah kita lihat. Seolah Nyai Rangginang ada di buku ini demi menunjang plot sahaja. Si penulis pengen aja kali pake si "Nyai" biar ceritanya kerenan dikit.
Si Nyai balas dendam kepada warga dengan cara yang brutal. Membunuh orang, terus dikuliti, diambil darahnya, dan orangnya dijadiin patung tanah liat. Baiklah, aku melihat kemiripan dengan House of Wax, tapi aku tidak akan berkata apa-apa. Dam, Nyai, you evil!
Untuk beberapa alasan yang aku sendiri ribet menjelaskan detailnya, Amey tiba-tiba ikut tersesat di lorong waktu bersama Dzakia. Sebagai 'senior' dalam urusan terjebak di lorong waktu, Dzakia bilang ke Amey kalau mereka tidak akan bisa keluar dari situ. Eh, tapi ternyata bisa h3h3. Dirga tadi bilang enggak bisa cuma buat nge-prank Dzakia doang!
"Tapi yang bisa pulang cuma satu nich, gimana dongs?" kata Dirga, "yaudah kalian berunding deh siapa yang pulang, nanti kalo udah bilang ye ...."
Maka terjadilah adegan ihiks-ihiks tentang siapa yang bisa pulang antara Dzakia atau Amey. Perundingan pun terjadi dengan cepat, dan diputuskanlah bahwa Dzakia yang pulang (benturkan kepala ke meja bundar). MAKSUDKU! Apa yang membuat Dzakia lebih penting daripada Amey sampai cuma dia yang bisa pulang? Memangnya baik Amey maupun Dzakia tidak ada yang mau jadi egois dikit? Pikirkan cara lain supaya mereka berdua bisa pulang kek, gimana kek! Sebegitu memblenya kah perjuangan serta persahabatan mereka?
Apa alasannya? Jelaskan!!!
Kita lupakan masalah itu sejenak, dan anggap aja Dzakia ini punya darah murni yang berguna bagi umat manusia, makanya dia yang harus pulang. Nah, yang lebih membuat penasaran adalah bagaimana cara Dzakia pulang alias keluar dari lorong waktu?
Eng-ing-eng ... Dirga ternyata bisa membuka portal waktu dengan merapalkan doa-doa kepada Tuhan. APA INI??? SCI-FI VERSI BAROKAH???
Di sisi lain, Joe yang mukanya mirip Dirga entah kenapa bisa bertemu dengan Bulan. Dengan gelap mata, Bulan membunuh Joe yang disangkanya Dirga, akibat Dirga menolak cintanya dulu kala. Bulan menusuk jantung Joe, mengulitinya, dan menjadikannya patung tanah liat. Kalian pasti berpikir Joe sudah mati, mengingat tusukan di jantung, juga dikuliti dan sebagainya itu. Namun, novel ini punya keajaiban dong, karena Joe masih hidup dan sehat walafiat yeeeeyyyy!!!! (lompat ke rawa-rawa)
Meskipun jadi tanah liat, Joe tetap bisa memberitahu teman-temannya tentang cara menghilangkan kutukan di Pulau Miranti. Pertama, mereka harus menemukan jasad kenanga dan membakarnya. Kedua, temukan jasad Bulan dan kuburkan dengan baik. Terakhir, bakar rumah Arman tempat kejadian berdarah yang dialami Bulan. Dengan melaksanakan semua itu, mereka bisa pulang ke Jakarta.
Kalian mungkin berpikir "Buset banyak banget!", tapi tenang, orang-orang novel ini bisa melakukannya dengan cepat dan akurat kok.
Sampai di akhir cerita, sesudah mereka berhasil melakukan tiga tugas tersebut, mereka pun bisa keluar dari Pulau Miranti yang terkutuk. Meskipun Joe meninggal jadi patung tanah liat, meskipun Amey terjebak di lorong waktu, tapi pengorbanan pasti ada demi keselamatan orang banyak. Aku pun sempat rada sedih juga dengan kematian Joe dan hilangnya Amey, Namun ternyata ...
...
...
...
Semua itu hanya mimpi (bruuhhh)
Bukan sekadar mimpi biasa, tapi mereka berenam juga dapat mimpi yang sama hingga akhirnya mereka memutuskan untuk putar balik ke arah pulang, tidak jadi pergi ke Pulau Miranti. Masih bisa dimaklumi sampai di sini ya, 'kan? Sampai di halaman terakhir mereka kehabisan bensin, dan ternyata kapal mereka malah mengarah ke Pulau Miranti, siap mewujudkan mimpi buruk tersebut.
...
...
...
APA INI???? FINAL DESTINATION???
C. Penokohan
Tokoh-tokoh di sini punya sikap dan sifat yang enggak beda-beda jauh. Tidak ada yang terlalu memiliki ciri khas kuat. Satu hal yang mungkin bisa jadi kelebihan yaitu tokoh-tokoh di sini tidak terlalu mengambil klise penokohan di setiap film horor. Seperti si kuat, si kalem, si penakut, dan sebagainya. Tapi kekurangannya ya ... semua tokohnya jadi terkesan sama.
Dzakia. Dia mungkin badut di kelompok ini. Dia sering nyeletuk hal-hal ngaco yang harus kuakui cukup lucu. Dia juga digambarkan religius.
Joe. Dia cowok yang paling kalem. Bisa jadi pemimpin dalam kelompok karena dia sering dimintai pendapat atau solusi.
Nano. Enggak tahu deh apa yang bisa kusebutkan tentang ini orang selain suka sama Dzakia, rada genit, dan juga penakut.
Ryan. Aku juga lupa dia sifatnya sepanjang cerita gimana, ya? Kayaknya enggak jauh beda dari Nano.
Meylisa. Cuma jadi love interest si Joe, dan kadang juga jadi beban masyarakat.
Amey. Tidak punya kepribadian signifikan selain suka nyeletuk pakai bahasa Taiwan(?) karena si penulis ternyata bekerja di Taiwan.
Bulan alias Kenanga alias Nyai Rangginang. Villain yang tersakity.
Dirga. Pembuka portal waktu, dan ustad bersertifikat.
Arman. Piece of sheep.
Udah kayaknya itu doang ....
D. Dialog
Dialog dalam novel ini benar-benar standar dan tidak quotable. Beberapa tokoh bahkan hanya melakukan tanya jawab masalah mereka melihat hal misterius atau tidak, melihat penampakan atau tidak, atau bertanya apa itu, apa ini. Belum lagi setiap tokohnya tidak ada yang punya ciri khas dalam berdialog. Kadang aku lupa siapa yang sedang bicara. Terutama Amey dan Meylisa yang namanya rada-rada mirip. Bagian "Mey" nya doang sih, tapi tetap saja ....
Meskipun tidak memiliki ciri khas. Beberapa humor dan dialog recehnya bisa membuatku mesem-mesem. Paling tidak itu bukan dialog kocak yang cringe. Apa lagi saat Dzakia bertingkah seperti Velma di Scoobydoo, itu lumayan lucu juga.
E. Gaya Bahasa
Gaya bahasa novel ini mengalir lancar seperti sungai nil. Sederhana juga, saking sederhananya sampai tanpa sadar sudah setengah buku berlalu meskipun dengan kening berkerut. Kelugasan setiap paragrafnya juga membantu kelancaran membaca. Enggak ada sok puitis atau terlalu muluk-muluk. Mungkin pengaruh dari genre horornya juga.
Omong-omong tentang kehororannya. Aku memang kurang bisa menikmati genre horor dalam bentuk buku. Entah kenapa, setiap kejutan dan gambaran-gambaran seram tersebut tidak bisa membuatku merinding atau takut. Ini mungkin cuma masalah selera. Untuk genre horor aku lebih suka menonton film saja daripada membaca.
F. Penilaian
Plot : 2
Penokohan : 1,5
Dialog : 2
Gaya Bahasa : 2,5
Total : 2 Bintang
G. Penutup
Dari mulai genre horor, sci-fi, romance, dan thriller. Lalu ada kemiripan jelas dengan tema beberapa film terkenal seperti House of Wax dan Final Destination. Buku ini terlalu banyak campur aduknya padahal jumlah halamannya sangat sedikit. Jangan salah sangka, aku tidak keberatan jika novel ini memang terinspirasi dari dua film di atas, karena keduanya adalah film favoritku. Namun, eksekusinya benar-benar berantakan, atau bisa dibilang kurang matang.
Seandainya jika lembar halamannya dipertebal, atau boleh juga dijadikan beberapa seri. Perdalam masing-masing konflik, dan susun lagi timeline-nya supaya lebih jelas. Oh, satu lagi buku berpotensi yang eksekusinya kurang oke ToT
Semoga suatu saat penulis merombak cerita ini, menjadikannya lebih panjang, lebih jelas, dan lebih banyak porsinya.
Sekian review dadakan ini. Sampai jumpa di lain kesempatan ^o^/
Comments
Post a Comment