Fantasteen : Far Away
Penulis : Muthia K. D.
Penerbit : DAR! Mizan
ISBN : 9786022427261
Tebal : 160 Halaman
Blurb :
Ssst, pernahkah kamu mendengar kisah ganjil tentang pohon terlarang di belakang sekolah? Barangkali tentang jin yang buang anak di sana, atau wanita berambut panjang yang sering cekikikan di cabang pohon tertinggi sambil makan jeruk. Kamu boleh tertawa. Semuanya cuma omong kosong. Sesungguhnya ada alasan lain mengapa pohon itu harus kamu jauhi.
Rena adalah gadis yang tidak bisa duduk diam. ”Siapa aku? Apa yang kulakukan di sini?” Dia merasa lingkungan dan orang-orang di sekitarnya berputar dengan cara yang tidak lagi dipahaminya. Rena bukanlah bagian dari sekolah barunya. Sosok-sosok yang dahulu teman dekat, kini tidak bisa dia sebut begitu.
Siapa sangka satu-satunya pendengar kerisauan Rena adalah Nathan? Padahal cowok itu dikenal dingin dan kerap mengabaikan ajakan main ...
MENGANDUNG SPOILER!!!
A. Ipusnas yang Maksa!
Hallow pembaca Review Impy tercinta. Seperti yang dikatakan judul segmen ini, awalnya aku tidak berniat membaca Fantasteen lagi karena sepertinya jenis Fantasi-nya Fantasteen sudah tidak sejalan lagi dengan visi dan misi seorang Impy Island. Akan tetapi, setiap kali membuka Ipusnas, buku pertama yang ditawarkan oleh aplikasi berfaedah itu adalah Far Away ini! Sudah di-refresh berkali-kali, yang muncul tetap aja dia lagi. Aku pun menyerah pada panggilan nasib, dan menambahkan Far Away ke dalam antrian bacaan.Harus diakui kalau sampulnya memang memikat hati, ilustrasi perempuan bersayap peri blink-blink, ditambah latar belakang khas kerajaan fantasi. Mungkinkah buku ini akan memiliki vibe Peter Pan, karena kalian tahu kalau segala hal yang menyangkut Peter Pan maka aku akan menyukainya. Sampul seri Fantasteen memang selalu bagus dan bikin penasaran, sesuai dengan seleraku pula. Selain itu, aku juga dibikin penasaran dengan blurb-nya. Genre Fantasi kok pake embel-embel pohon angker, jin buang anak, dan Bu Kunti!
Hmm .. daripada pinisirin, marilah kita telusuri dunia Far Away ini.
B. Plot
Gini ya ... kita bicarakan saja dulu kelebihan buku ini. Kenapa? Percayalah, itu yang terbaik. Pertama, ilustrasi dalam buku ini luar biasa. Kedua dan terakhir, sampulnya bagus.Cuma itu? Ya ... CUMA ITU!
Dengarkan dulu penjelasanku, Beybeh. Buku ini cuma setebal 160 halaman, jadi kita memang tidak bisa mengharapkan Fantasi yang epik. Namun, aku juga tidak menyangka kalau akan sebegini brekele! Dari plot, tokoh, penokohan, world building, latar, hampir semuanya tidak sempurna. Bahkan SANGAT JAUH dari kata sempurna. Kalau boleh kubilang, buku ini seharusnya masuk seri KKPK (Kecil-kecil Punya Karya) daripada seri Fantasteen, sebab dari gaya bahasa, dialog, serta suasana yang diberikan lebih cocok untuk anak-anak SD atau TK daripada remaja.
Bayangkan saja! Di bab satu kita langsung berkenalan dengan tokoh utama (Rena) dan kakaknya (Moyra), serta secuil informasi tentang pohon di belakang sekolah yang katanya angker, tidak ada satu orang pun yang berani mendekatinya. Awal yang bisa dibilang cukup menjanjikan kalau kubilang, tapi semua berubah ketika di halaman selanjutnya ada anak baru lagi yang bernama Nathan. Si Nathan ini gak ada ujan, gak ada angin tetiba samperin Rena sambil bilang ….
“Hmmm ... aku bisa menciumnya. Kamu bangsa Elf, 'kan?”
Dan lebih parah, si Rena malah menjawab begini. “Ih, enak aja! Aku manusia tulen, ya!”
(Main bowling pake kepala)
Gini lho ... latar suasana belum terbangun dengan baik, kita belum tahu apa pun tentang tokoh-tokoh dalam kisah ini, maupun motifasi mereka, Nathan dan Rena pun belum akrab sama sekali, tapi ujug-ujug udah dikasih dialog beginian, rasanya aneh. Bab kedua bahkan lebih aneh lagi. Seperti biasa, gak ada ujan, gak ada badai, Nathan menjelaskan pada Rena kalau dia itu sebenarnya adalah seorang Putri dari dunia Elf, anak Raja dan Ratu Elf, dan sekarang dia harus pulang karena dunia Elf terancam diserang Werewolf.
Harus kuakui juga ide cerita ini unik. Jarang sekali Werewolf bermasalah dengan Elf, biasanya kan selalu dengan Vampir. Sayangnya, eksekusi ide menarik dan unik itu teramat-sangat-gagal-sekali-banget.
Kembali ke konflik utama. Kita sebagai para pembaca mungkin berpikir Rena akan menyangkal dulu, meminta bukti, menganggap Nathan orang tidak waras kecuali dia memperlihatkan keajaiban. INI TIDAK!!! Si Rena langsung aje percaya. Malah merana sambil bilang, “Jadi selama ini orang tuaku di sini bukan orang tua kandung???”
APA YANG MEMBUATMU YAKIN, ZEYENK??? Apa yang dilakukan Nathan sampai kamu segitu gampangnya percaya!!!
Terus si Nathan brekele ini pakai ngomong, “Tabahlah Rena, orang tuamu yang sekarang memang menyayangimu, tapi Raja dan Ratu Elf juga menyayangimu. Jadi ayo kita kembali ke dunia Elf ...” Lah enak banget lu ngomong begitu, Tong!!!
Gimana ya ... Informasi bahwa Rena berasal dari Dunia Elf ini ditanggapi secara brekele oleh Rena. Maksudku, itu bukan informasi sembarangan, malah bisa dibilang di luar akal sehat untuk Rena yang selama ini hidup normal, masa iya responnya begitu doang. Penulis benar-benar payah membangun suasana, maupun membuat plot ceritanya jadi masuk akal.
Kemudian, pulanglah Rena ke rumah, mendapati kedua orang tuanya memberikan perhatian bertubi-tubi. (Menarik napas) Aku sangat paham kalau penulis ingin menunjukkan kesedihan Rena akibat harus meninggalkan orang tuanya, padahal orang tuanya baik dan perhatian. Tapi perhatian ibu dan ayah Rena dalam satu adegan ini jauh dari kata natural, bahkan terkesan dipaksakan sampai aku bingung harus sedih atau malah curiga!
Maka terjadilah adegan ihiks-ihiks paling brekele saat Rena bertanya tentang kebenaran dirinya kepada Ayah dan Ibu. Adegan yang seharusnya sedih ini terasa sangat hambar karena memang tidak ada suasana yang terbangun sebelumnya. Kita tidak tahu bagaimana kehidupan sehari-hari Rena bersama kedua orang tuanya di rumah, tidak tahu apa yang membuatnya berat meninggalkan rumah.
Setelah semua terungkap, aku pikir Nathan dan Rena akan segera pulang ke dunia Elf untuk menyelesaikan masalah dengan Werewolf. Itu masuk akal, yekan? Eh, dia malah ke Dunia Elf dengan niat main, iseng sahaja, karena bosan! (lempar lembing). Keanehan tidak sampai di situ, karena sampai di Dunia Elf, sudah ada penyambutan meriah guna merayakan kepulangan Rena sang Putri raja.
(tarik napas) ITU ORANG-ORANG ELF TAU DARI MANA!!!
Sampai di sana pun Rena dan Raja-Ratu Elf langsung akrab selayaknya tidak terjadi apa-apa, seolah mereka memang sudah berkeluarga sejak lama. Sepanjang berada di Dunia Elf pun tidak pernah diungkit lagi apa bahaya di sana, padahal aku pikir kedatangan Rena MEMANG bersangkutan dengan hal-hal werewolf yang membahayakan Dunia Elf. Akhirnya Nathan dan Rena di sana cuma main-main gak jelas sampai waktu pulang.
Sebelum pulang, Rena diberikan tiga benda ajaib dari ibunya. Tongkat sihir, buku mimpi yang bisa membuat seseorang berpetualang di dalam mimpi, serta botol sihir yang bisa mengeluarkan peri cantik. Rena sudah diwanti-wanti untuk tidak menggunakannya sembarangan.
Ibu Elf berkata, “Gunakan untuk hal-hal genting saja.” Sementara Ayah Elf bersabda. “Semoga dengan ketiga benda ajaib tersebut, hidupmu di dunia manusia yang kejam akan lebih mudah.” (Padahal selama hidup 15 tahun di dunia manusia si Rena baik-baik aje tuch!)
Lantas, untuk hal genting nan barbahaya seperti apa Rena menggunakan ketiga benda ajaib tersebut?
Tongkat ajaib dipakai untuk buka gerbang sekolah yang terkunci saat mereka pulang terlalu malam HARI ITU JUGA.
Buku mimpi dibuat untuk nge-prank taman-teman saat acara tidur bersama.
Peri cantik di botol ajaib dibuat sebagai tempat curcol karena Rena takut nilainya jelek.
WOOOWWW SANGAT BERGUNA DAN BERFAEDAH SEKALI KETIGA BENDA AJAIB ITU!!!
Aku harus berkali-kali memastikan kalau buku ini memang ditargetkan untuk remaja dan bukannya anak TK. Jujur saja, cara Rena menggunakan ketiga benda ajaib tersebut lebih ampuh untuk menyenangkan hati anak TK atau SD yang baru memiliki minat baca, daripada remaja yang jalan berpikirnya sudah kompleks, dan pasti memprotes hal-hal brekele begini!
Aku mau menangis, mau minum parasetamol, mau pakai balsem super hot, mau koprol sambil nyemil kamper, apa pun supaya bisa sembuh dari penyakit meriang yang disebabkan buku ini! Aku hampir-hampir ingin menyerah, tapi enggan rasanya menyerah hanya dengan buku brekele. Ayolah, Mariposa, Alaia, dan Noir saja bisa kuselesaikan, apalah artinya buku salah target ini.
Maka aku lanjut baca ....
Kejadian berikutnya dalam buku ini mencangkup, Rena ujug-ujug punya kekuatan, Rena ujug-ujug latihan perang, ujug-ujug Nathan adalah adik Rena, ujug-ujug (menuju akhir buku) ada tokoh baru bernama Kim, ujug-ujug penyerangan Werewolf, ujug-ujug menang lawan Werewolf. Segala hal yang terjadi di sini benar-benar seperti kain lap basah yang dilemparkan ke muka kita bertubi-tubi. Lepek dan tidak nyaman. Tanpa latar belakang jelas, tanpa pembangunan suasana, tanpa mau pusing-pusing memikirkan World Building.
Oh-oh-oh, aku tidak kuat! Aku yakin buku ini salah target pembaca, sebab semua hal di buku ini akan masuk akal dan mungkin menyenangkan untuk otak anak-anak SD dan TK, mereka akan sangat enjoy membaca ini tanpa ada konflik macem-macem, cerita akan jalan-jalan-jalan-jalan-selesai, tanpa memikirkan perasaan tokoh, maupun pembacanya. Tidak ada upaya dalam buku ini untuk membuat pembaca masuk ke dalam cerita.
ini beneran buku Fantasteen? Kenapa kepenulisannya semodel anak SD begini? Atau jangan-jangan selama ini Fantasteen memang dutujukan untuk anak SD dan TK? Kalau begitu caranya sih aku benar-benar akan berhenti membaca Fantasteen!!!
C. Penokohan
Hal yang ingin kujadikan catatan utama di buku ini adalah, semua tokohnya tidak memiliki ‘rasa’. Penulis membuat tokohnya seperti boneka yang ikut saja dengan kemauan penulis tanpa memiliki pendapat sendiri. Kadang tokoh-tokoh di sini tidak bertingkah selayaknya orang normal. Keputusan-keputusan yang diambil pun tidak mempengaruhi apa pun, karena sekali lagi, penulis tidak berhasil membuatnya berpengaruh. Singkatnya sih, hambar.Rena / Erina (Nama di Dunia Elf, tapi gak penting juga) Blurb buku ini mengatakan kalau Rena merupakan anak yang tidak bisa diam. Ya ... bisa diilang begitu. Tapi yang pasti Rena ini anaknya percaya akan segala hal, tidak punya keraguan sama sekali, suka nge-prank, dan terkadang emosinya berubah-ubah seiring keinginan si penulis. Kalau mau jujur, aku sendiri bingung menjabarkan Rena sebagai apa.
Nathan / Ethan (Nama di Dunia Elf, tapi sekali lagi ... ini tidak penting) Lagi-lagi Blurb buku menjanjikan kalau Nathan ini adalah orang yang dingin dan tidak bisa diajak ngobrol. Eits, tapi itu tidaklah benar, karena dari awal juga selalu Nathan yang mengajak Rena bicara duluan, dan langsung mengatakan bahwa dia adalah Putri di Dunia Elf, dan Rena langsung percaya, dan mereka langsung bersahabat. Nathan juga sering kali emngeluarkan dialog-dialog Flirty yang dibilang cringe sih tidak, tapi rasanya tidak enak dibaca karena dia seharusnya bersifat “dingin”
Kim. Sejujurnya aku sama sekali tidak peduli dengan anak ini. Bayangkan saja, buku sudah menjelang akhir, ini anak ujug-ujug muncul. Kemunculannya pun sangat tidak berkesan, sebab dia cuma memuji betapa hebatnya Rena sebagai seorang putri. Dan mereka langsung bersahabat setelah itu. Katakan di mana letak rawa-rawa terdekat, karena aku ingin terjun!
Sejujurnya aku tidak tahu lagi tokoh yang layak dijelaskan dalam segmen ini. Kakak manusia Rena (Moyra) sangat Useless dan hampir-hampir tidak pernah muncul lagi sepanjang cerita, orang tua Rena baik di dunia manusia maupun dunia Elf tidak mempunyai andil yang signifikan. Teman sekelas Rena lima orang (yang sudah aku lupakan namanya) bahkan cuma hadir di buku ini sebagai korban Prank Rena.
Aku sudah tidak tahu lagi! Kalian bacalah sendiri dan kasih tau aku tokoh mana yang aku lewati.
D. Dialog
Dialog dalam novel ini hambar, beberapa kali penulis berusaha membuat dialog UwU antara Nathan dan Rena, tapi aku tidak merasakan ke-UwU-an tersebut. Itu jelas akibat tidak ada suasana atau chemistry yang terbangun di antara mereka. Cara mereka berinteraksi juga begitu kekanakan sampai aku lupa kalau Rena DKK ini sudah kelas 1 SMA, mereka benar-benar seperti anak-anak pra-SD yang sering aku lihat main di jalan.(Berikut contoh dialog teman-teman Rena yang sedang di prank dalam mimpi)
“Lho, aku ada di mana, nih?” kata teman Rena
“Marsha, kamu ada di sini juga?” tanya teman Rena yang lain.
“Wah, kita semua ada di sini. Ayo, kita selidiki tempat ini,” jawab teman Rena yang lain lagi,
“Tunggu aku, Guys!” teriak teman Rena yang beda.
“Wah, kamu ada di sini juga, kebetulan. Ayo, kita langsung aja lihat-lihat tempat ini.”
Impy : “Gimana kalau kita semua terjun aja ke Muara Angke?”
“Wah ide yang bagusssss!!!”
Dan mereka semua pun terjun ke rawa-rawa, menetap di sana sebagai budak siluman kebon!
Akan tetapi, semua itu masih bisa aku maafkan. Memang brekele dan hambar dan tidak ada ciri khas sama sekali, tapi masih kumaafkan. Karena ada satu hal yang tidak termaafkan dari dialog novel ini. Satu jenis dialog terlarang yang sangat Impy benci, bahkan semua penulis dan pembaca ‘waras’ akan membenci satu dialog terlarang ini.
Kalian tentu bisa menebak dialog apa itu ... kalian pasti sudah bisa membayangkannya sekarang ....
Benar ... ada dialog “Hiks” dalam buku ini!!!!!
Sudah jelas, buku ini memang selayaknya kita tenggelamkan di Palung Mariana!
E. Gaya Bahasa
Aku sudah bilang berkali-kali kalau segala aspek di buku ini terasa hambar, begitu juga gaya bahasanya. Buku ini tidak mau repot-repot menjabarkan latar tempat, waktu, maupun suasana. Buku ini juga ogah-ogahan menggambarkan tokoh, serta adegan aksi yang seharusnya menyenangkan dan menegangkan. Segalanya menggunakan metode Telling, yang sebenarnya bisa bagus kalau penulis bisa merangkainya lebih baik.Sayangnya, penulis benar-benar tidak bisa (atau tidak mau) berusaha lebih keras. Bahkan ada satu bab yang gaya bahasanya benar-benar hancur. Hancur dalam artian campur aduk antara bahasa baku dan tidak baku. Aku benar-benar tidak habis pikir kenapa yang seperti ini bisa layak terbit. Apakah ini kesalahan editor? Aku yakin ini kesalahan editor.
Karena kalau ada yang bilang, “Memang gaya menulis dia seperti itu, Impy. Kamu tidak boleh menjulid!”
Jelas-jelas bukan, karena hanya satu bab itu yang benar-benar hancur. Buku ini benar-benar harus dirombak ulang, benar-benar dirombak dan diperbaiki segala unsurnya.
F. Penilaian
Cover : 4Plot : 0,5
Penokohan : 0,5
Dialog : 0,5
Gaya Bahasa : 0,5
Total : 1,3 Bintang
G. Penutup
Wow ... aku memang tidak pernah puas dengan seri Fantasteen, tapi untuk yang satu ini aku benar-benar kecewa dan kebingungan. Buku ini bahkan lebih parah dari fantasi Watpat yang pernah kubaca. Setidaknya novel fantasi Watpat masih mempunyai konflik yang konkret, meskipun seringnya berakhir brekele. Buku ini benar-benar gagal dalam segala hal, plot tidak jelas, penokohan hambar, gaya bahasa seperti anak TK, laju alur yang asal-asalan.Rasanya seolah buku ini dibuat oleh anak SD yang baru terjun ke dunia menulis. Namun, aku melihat profil penulis yang kelahiran tahun 1998, dan buku ini keluaran 2015. Itu artinya penulis berusia 17 tahun saat menulis ini. Dan ... buku seperti ini yang dia hasilkan? Entahlah ... mungkin ini buku pertamanya, jadi aku juga tidak ingin terlalu menjulid. Tapi ayolaaahhh!!!
Sudahlah, rasanya aku mau berendam dengan kembang tujuh rupa sehabis ini. Apakah aku akan membaca Fantasteen lagi di masa yang akan datang? Entahlah, harapabku pada seri itu semakin pupus setiap bukunya.
Sampai jumpa di review selanjutnya ToT/
Catatan Tambahan
Aku baru membaca profil penulis secara lengkap ketika membuat review ini, dan si penulis ternyata memang pernah menulis dalam seri KKPK!!! PANTAS SAJA BUKU INI SEPERTI DIBUAT OLEH ANAK SD!!!Tapi itu tidak mengubah apa pun tentang pendapatku ... maksudku, dia sudah 17 tahun, seharusnya dia bisa membedakan KKPK dengan Fantasteen. Memangnya dia tidak pernah membaca seri seperti Harry Potter, yang meskipun ditujukan untuk anak-anak, isinya tidak brekele dan aduhai seperti ini!!!
Comments
Post a Comment