Aku Ingin Terus Menari
Penulis : Impy Island
Penerbit : Loka Media
ISBN : 9786025509353
Tebal : 203 Halaman
Blurb :
Pernahkan kalian mendengar dongeng klasik yang berjudul Kutukan Sepatu Merah? Akulah sepatu merah yang mereka sebut sebagai terkutuk.
Tidak, tidak, aku tidak mengutuk siapa pun. Tidak Giselle yang mengenalkanku pada dunia balet. Tidak Karen sang putri baik hati itu. Aku hanya menjadi diriku sendiri, sepatu yang selayaknya disebut sepatu. Salahkah jika aku ingin menari?
Sebagaimana aku dulu bersama Giselle, tidak pantaskah kuajak Karen serta?
Menari, aku ingin terus menari.
Penerbit : Loka Media
ISBN : 9786025509353
Tebal : 203 Halaman
Blurb :
Tidak, tidak, aku tidak mengutuk siapa pun. Tidak Giselle yang mengenalkanku pada dunia balet. Tidak Karen sang putri baik hati itu. Aku hanya menjadi diriku sendiri, sepatu yang selayaknya disebut sepatu. Salahkah jika aku ingin menari?
Sebagaimana aku dulu bersama Giselle, tidak pantaskah kuajak Karen serta?
Menari, aku ingin terus menari.
MENGANDUNG SPOILER!!!
A. Kisah Terbentuknya Sebuah Anak
Alkisah tahun 2018, tahun di mana penerbit kesukaanku mengadakan event cipta novel. Normalnya aku ogah-ogahan mengikuti event menulis, lantaran genre yang diminta kebanyakan Teenlit atau Romance. Oh, dua genre itu adalah kelemahanku, sekali pun memaksa bikin ujung-ujungnya malah akan memalukan diri sendiri di kemudian hari.
Namun saat aku melihat persyaratan event tersebut, ternyata yang diminta adalah unsur DONGENG! Saat itu juga jantungku berdetak cepat, semangat mengalir dalam aliran darah, hidungku kembang-kempis seperti Shin-chan yang lagi godain tante cantik. This is MY Genre! Aku cinta dongeng, tahu seluk-beluk membuat dongeng, sampai beberapa kali menciptakan dongeng sendiri, ini memang spesialisku. Ini kesempatanku untuk bersinar!
Tapi eh tetapi, tantangan tidak sampai di situ. Loka Media memutuskan untuk membuat event ini anti-mainstream dengan mengharuskan penulis mengambil sudut pandang benda mati! Seketika, aku panik, gundah, gulana, tapi tertantang. Dongeng dan Sudut Pandang Benda Mati! Itu adalah kata kunci paling krusial.
Beberapa dongeng dan legenda pun mulai bermunculan di otak. Berikut adalah dongeng dan legenda yang sempat menjadi calon ide cerita ....
1. Jaka Tarub : Mengambil sudut pandang selendang si bidadari.
2. Cinderella : Mengambil sudut pandang sepatu kaca
3. Keong Mas : Mengambil sudut pandang rumah keong
4. Kutukan Sepatu Merah : Mengambil sudut pandang sepatu merah.
5. Red Riding Hood : Mengambil sudut pandang jubah merah
Ide-ide di atas begitu brilian sampai aku bingung ingin memakai yang mana. Pada akhirnya aku memutuskan untuk tidak memakai legenda Indonesia, sebab gaya menulisku yang ala-ala terjemahan tidak akan cocok untuk suasana nusantara. Cinderella juga tidak terlalu menarik, karena tidak ada plot barokah dari sudut pandang si sepatu yang bisa kupikirkan saat itu.
Tinggalah Red Riding Hood dan Kutukan Sepatu Merah, yang anehnya sama-sama mengandung warna merah! Setelah pertimbangan panjang, aku pun memutuskan untuk mengangkat dongeng Kutukan Sepatu Merah. Pikirku saat itu, dalam dongeng ini si sepatu merah memang menjadi kunci utama ceritanya. Sepatu ini adalah hal paling krusial dalam dongeng, makanya aku pilih.
Sedangkan dongeng asli Red Riding Hood menurutku terlalu gore, dan dengan tekad menciptakan novel segala umur, tidak mungkinlah aku mencantumkan hal-hal gore. Padahal, akhirnya novel Aku Ingin Terus Menari ini juga mengandung unsur gore yang lumayan mengganggu. Well ... ironi di atas ironi!
Naskah sudah jadi, tinggal kirim dan menunggu penilaian juri. Hasilnya, lahirlah novel barokah ini. IT ALIVE!!!
Sampul buku ini Cheff Kiss, dan aku sangat puas dengan hasil karya Bapacc Tedy. Perpaduan warna, ilustrasi gambar, serta font yang membuat keseluruhan novel terasa adem, penuh, tapi juga simple. Sampul dari penerbit Loka Media selalu bagus-bagus, percayalah itu yang membuatku tertarik menerbitkan buku di sana in the first place.
Oh, kalian mungkin berpikir, "Orang narsistik dan self-absorbed macam apa yang mereview bukunya sendiri? Mengetahui bahwa reviewnya akan berat sebelah dan tidak kredibel!"
Aku. Akulah orang narsistik itu. Tapi ayolah, ini cara promosi yang bagus! Lagi pula, pasti bukan cuma aku di dunia ini yang pernah mereview novel ciptaan sendiri, 'kan?
Iya 'kan? ... kenapa kalian semua diam?
B. Plot
Kita semua pasti tahu bagaimana kisah dari dongeng Kutukan Sepatu Merah.
Kalau kalian tidak tahu ... READ! EDUCATE YOURSELF!
Bercanda kok, Zeyenk ... Kutukan Sepatu Merah atau The Read Shoes, adalah dongeng mahakarya Bapacc Hans Christian Andersen. Belio ini memang pendongeng handal (Bukan orang Twittah). Karya-karya belio yang familiar di telinga kita di antaranya; The Little Mermaid, Anak Itik Buruk Rupa, Putri dan Kacang Polong, Thumbelina, Gadis Penjual Korek Api, dan masih banyak lagi.
Tidak seperti dongeng-dongeng Brothers Grimm, menurutku dongeng Bapacc Andersen lebih memiliki nilai moral yang cocok untuk anak-anak maupun dewasa, meskipun tetap memasukkan unsur gore nan disturbing di dalamnya. Begitu juga Kutukan Sepatu Merah, banyak amanat berharga yang bisa diambil dari dongeng ini. Penyampaian dari amanat itu pun dramatis, absurd, tapi masuk akal sebagaimana mestinya sebuah dongeng.
Marilah kita bahas dongeng ini dari isi novel Aku Ingin Terus Menari.
Kisah ini di mulai dari sebuah kedai sepatu yang sepi pelanggan. Para sepatu mulai berdiskusi tentang nasib buruk yang akan menimpa mereka jika tidak segera dibeli. Dihancurkan, dibakar, atau lapuk termakan jamur. Namun, ada sepasang sepatu yang diistimewakan oleh Nenek pemilik kedai. Ialah si Sepatu Merah, yang selalu diletakkan di etalase kaca paling atas.
Kalau kalian lihat, ia bukan sepatu merah biasa, melainkan sepatu balet. Setelah pemilik lamanya (Giselle) meninggal, Sepatu Merah harus tinggal di kedai Nenek bersama sepatu-sepatu murahan lain. Dari sini kita bisa lihat kalau si sepatu memiliki sifat sombong, bertingkah seolah derajatnya lebih tinggi dari sepatu lain, karena memang begitulah Giselle memperlakukannya. Sepatu Balet Merah yang Istimewa.
Giselle adalah seorang balerina, dan masa-masa bersama Giselle adalah masa jaya si sepatu. Di kedai ini, ia mulai lelah berdiam diri. Sepatu Merah rindu menari, dan berharap bisa memulai kembali masa jaya bersama seorang balerina seperti Giselle. Harapan itu terjawab saat suatu hari seorang gadis miskin tapi cantik bernama Karen berjanji akan membelinya setelah punya uang.
Suatu hari, ibu Karen meninggal akibat wabah. Berkat wajah cantik serta sifat baik, Karen diangkat menjadi anak oleh Ratu di kerajaan tersebut. Tentu saja, setelah menjadi anak angkat ratu, Karen akhirnya bisa menepati janji kepada Nenek dan si Sepatu Merah untuk segera membelinya. Karen memohon dibelikan oleh sang Ratu padahal mereka seharusnya mencari sepatu hitam. Saking sayangnya Ratu pada Karen, dibelikanlah sepatu merah itu, meskipun Ratu tidak terlalu menyukainya.
Nah, di sinilah problem di mulai. Sepati Merah sangat berharap bisa mengulangi masa jaya bersama Karen sebagai balerina dan sepatu merah yang istimewa. Sayangnya, Karen bukan anak perempuan yang dilahirkan untuk menari. Dia tidak pernah menari, tidak pernah belajar menari, dan tidak tertarik sama sekali pada menari. Karen malah memakai si sepatu untuk bermain, jalan-jalan, bahkan berkebun.
Sepatu Merah merasa terhina, terkenal sebagai sepatu merah yang istimewa, sekarang malah dipakai untuk berkubang lumpur. Walaupun Karen tidak bermaksud begitu, dia hanya sangat menyayangi sepatu merahnya yang cantik, dan senang memakainya dalam segala kesempatan. Sepatu Merah kesal, tapi entah kenapa dia tidak bisa membenci Karen, dia terlalu manis untuk dibenci.
How Evah! Masalah dimulai saat Karen diam-diam memakai Sepatu Merah untuk beriabadah ke gereja. Semua orang dan benda mati mulai bergunjing betapa kurang ajarnya perilaku Karen, tapi mereka tidak memberitahu karena berpikir Ratu telah mengizinkan. Sepatu Merah juga merasa malu, tidak pernah ia sehina ini di mata orang-orang. Begitu sang Ratu tahu, Karen mendapat masalah besar sampai akhirnya harus berpisah dari Sepatu Merah sampai waktu yang tidak ditentukan.
Kalian mungkin berpikir, "Yaelah, pake sepatu merah doang segitu lebaynya, belum aja pakai sepatu bakiyak." Namun pahamilah, Antino ... di dunia novel ini masalah sepatu dan pakaian seutuhnya memang sangat penting untuk ritau-ritual tertentu. Dan itu jugalah konflik utama dari novel ini, 'Sifat bebal Karen yang membuat kehidupannya brekele'.
Sepatu Merah kembali terkurung di dalam lemari, kali ini di lemari sepatu para pelayan. Sepatu-sepatu pelayan tidak jahat, malahan mereka menceritakan segala kejadian di luar sana agar Sepatu Merah tetap up to date. Misalnya insiden kue beracun di pesta ulang tahun ke-16 Karen, bentrok antar Kerajaan York dan Windsor, pertunangan Pangeran Henry (kakak angkat Karen, anak kandung Ratu) dengan Putri dari Wessex, dan lain sebagainya.
Yap, untuk beberapa alasan, ada empat wilayah kerajaan dalam novel ini. York, Wessex, Windsor, dan Mounttaben. Penulisnya pasti terobsesi Monarki Inggris Raya, tapi masih level teri karena salah eja Mountbatten jadi Mounttaben. NOOO! Editor, kenapa kao tidak beritahu aku!?
Anyways, suatu hari yang tak terduga, Karen menemukan si Sepatu Merah di tempat persembunyian, alias di lemari sepatu para pelayan, dan mengambilnya. Para pelayan berusaha mencegah, tapi Karen tidak peduli. SHE IS THE PRINCESS!
Betul sekali, sifat dermawan dan murah senyum Karen seolah hilang semenjak insiden kue beracun. Karen jadi arogan, nyaris tidak pernah tersenyum pada siapa pun. Meskipun beberapa halaman kemudian dia sudah ramah lagi. Barang kali si penulis gak mau Karen punya sifat arogan, karena dengan begitu Karen tidak punya sisi bagus sama sekali!
Dengan segala huru-hara di gereja dulu, kalian pikir Karen belajar dari pengalaman untuk tidak memakai Sepatu Merah untuk upacara penting? NO!
Di usia ke-17 Karen melaksanakan upacara Anamette, alias upacara kedewasaan. Di upacara Anamette, Karen harus mengenakan pakaian serba putih dari ujung kepala sampai ujung kaki. Itu sakral, itu fardu, dan bisa menjadi dosa besar seumur hidup kalau Karen melanggar. Tapi eh tetapi, si brekele ini malah maksa sembunyi-sembunyi pakai sepatu merah, cuma karena dia terlihat cute mengenakannya
Sampai di sini, Sepatu Merah tidak bisa membiarkan tingkah brekele Karen mengotori namanya lagi. Tanpa diduga, dengan segenap kekuatan yang entah dari mana asalnya, si Sepatu Mulai menari sehingga Karen mengikuti segala gerakan baletnya. Semua orang terkejut dan ketakutan, terutama Karen yang badannya pegal-linu akibat berbagai tarian balet yang tidak pernah dilakukannya.
Sepatu Merah pun berhenti setelah berpikir Karen sudah kapok akan perilaku buruknya, dan belajar untuk tidak melanggar perintah lagi. Tapi ... apakah Karen benar-benar belajar? Itu pertanyaan retoris karena kalian semua pasti bisa menebak jawabnnya.
Sang Ratu murka mengetahui Karen berani memakai sepatu merah di upacara Anamette, ditambah dia membantah perintah sang ibu. Ratu menyuruh Pangeran Henry sendiri untuk membakar sepatu terkutuk itu, dan menguburnya dalam-dalam. Belio juga melarang Karen memakai segala hal berwarna merah mulai sekarang, bukan hanya sepatu, tapi segala hal.
Akan tetapi, Karen memohon pada kakak angkatnya supaya sepatu itu jangan dihancurkan. Dia membuat kisah ihiks-ihiks sehingga Pangeran Henry setuju untuk membiarkan Karen menyimpan sepatu itu dengan syarat jangan dipakai, apa lagi di depan ratu. Pangeran juga mewanti-wanti Karen untuk jadi anak penurut sekali saja. Karen setuju, dan sekali lagi Sepatu Merah harus terjebak di dalam kamar Karen.
Sepatu Merah mulai memikirkan nasibnya. Bersama Giselle dulu, baik makhluk hidup maupun benda mati berduyun-duyun melamparinya dengan pujian. Namun, bersama Karen dia selalu dimaki bahkan dicap terkutuk. Dari situlah tekad si sepatu semakin besar untuk merebut kembali penghargaan orang-orang. Ia hanya butuh saat yang tepat untuk melakukan itu.
Kapankah saat yang tepat itu? Beberapa tahun kemudian saat penobatan Pangeran Mahkota Henry menjadi Raja.
Pada momen itu, sekali lagi Karen sembunyi-sembunyi menggunakan si Sepatu Merah padahal tahu hal itu amat terlarang baginya. Pikir Karen, ini bukan ritual suci, tidak ada larangan bagi siapa pun untuk mengenakan busana apa pun. Maka, pergilah Karen ke penobatan mengenakan Sepatu Merah yang dengan segala ambisinya, begitu menginginkan masa jaya kembali.
Penobatan itu mulanya lancar, sampai berakhir kacau akibat lagi-lagi tingkah brekele Karen. Hal-hal di luar nalar terjadi, seluruh rakyat ketakutan, dan Karen akhirnya mendapatkan pelajaran fatal agar tidak pernah melanggar perintah lagi untuk selamanya. Apakah pelajaran itu? Kalau kalian pernah membaca dongengnya, kalian pasti tahu hal gore apa yang menimpa Karen di akhir kisah.
Secara keseluruhan, novel ini sangat unik. Mengungkap dongeng Kutukan Sepatu Merah dari sudut pandang si sepatu sendiri. Kenapa si sepatu disebut terkutuk, kenapa si sepatu bisa menari sendiri, alasan apa yang membuatnya bertingkah demikian, serta masa lalu si sepatu yang bisa dibilang menyedihkan.
Motifasi setiap tokoh pun jelas, setiap kejadian memiliki sebab-akibat, dan konfliknya meskipun sederhana tapi fatal, serta mengajarkan banyak amanat. Apa saja amanat tersebut? Tentu saja, jangan jadi anak brekele seperti Karen. Novel ini tipis, jadi di beberapa bagian terasa terburu-buru, tapi juga padat, dan tokoh-tokoh di dalamnya tidak asal lewat.
Meskipun di beberapa adegan, penokohan Karen terasa tidak konsisten, ada plot hole ringan yang mungkin tidak akan disadari dalam sekali baca, tapi sekalinya disadari pasti jadi masalah besar. Lalu, selain ending yang disadur dari dongeng, si penulis dengan pedenya membuat alternate ending sendiri dan malah membuatnya klise, atau malah sok misterius.
Yah, setidaknya dia mencoba.
C. Penokohan
Sepatu Merah. Sepatu ambisius yang ingin kembali ke masa jaya. Si sepatu lebih sering menjadi pengamat daripada pemeran. Dialah narator yang menghubungkan cerita dan pembaca. Terkadang si sepatu memuji betapa baiknya sifat Karen, di sisi lain dia benci sifat pemalas dan bebal gadis itu. Lewat sudut pandang si sepatu merah juga kita diajak memahami benda mati lain seperti buku, perabot, bahkan pakaian lain.
Karen. Anak peremuan yang cantik dan dermawan, tapi bebal dan pemalas. Menurut Sepatu Merah, Karen adalah kebalikan dari Giselle yang sempurna luar dalam. Sampai dia menyadari bahwa sejatinya Karen dan Giselle memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Hal yang membuatku gemez adalah, setiap orang selalu memaafkan Karen atas kesalahannya. Sekalipun dihukum, hukam tersebut tidak akan berpengaruh banyak. Penulis memang mengatakan lewat si Sepatu Merah kalau memang itulah kelebihan lain Karen, pandai mengambil hati orang lain sehingga siapa pun tidak bisa terlalu lama marah pada Karen.
Ratu Clarion. Semenjak kematian suaminya, Ratu Clarion menjadi pribadi yang dingin dan suram. Namun, semua berubah ketika ia mengadopsi Karen. Ibarat menemukan harta karun terpendam, sang Ratu berubah menjadi sosok tegas, royal, serta lebih sering berkeliling kota untuk ekspedisi. Di satu sisi, sifat sang ratu galak dan pendendam, tapi dia juga memiliki soft spot untuk anak-anaknya, terutama Karen.
Pangeran Henry. Anak tunggal Raja Thomas dan Ratu Clarion. Sang ibu menginginkan Pangeran Henry menjadi seperti sang ayah yang terkenal akan kehebatannya dalam perang. Namun Pangeran Henry benci peperangan, dan sebisa mungkin mengatasi konflik antar kerajaan melalui musyawarah-mufakat. Akibat sifatnya yang seperti ini, Ratu dan Pangeran Henry sering adu mulut.
Nenek. Pemilik kedai sepatu, serta pembuat sepatu yang andal. Nenek menyukai warna-warna cerah sehingga sepatu buatannya selalu berwarna-warni. Namun, hal itu juga yang membuat kedainya sepi. Lantaran, orang-orang lebih sering mencari sepatu hitam untuk melayat dan beribadah daripada sepatu cerah.
Daphne. Pelayan pribadi sekaligus sahabat Karen, sifatnya periang dan kadang-kadang suka berkata bijak tanpa disadari.
D. Dialog
Dialog novel ini terlampau baku, berusaha mengimbang latar waktu dan tempatnya. Bisa dilihat juga kalau penulis banyak terinspirasi dari novel-novel terjemahan. Masalahnya dialog-dialog semodel ini hanya cocok jika dibaca, bukan dilafalkan, itulah kekurangan dialog di sini. Namun, perbedaan vokal antar tokoh cukup unik, dalam artian setiap tokoh punya ciri khas masing-masing.
Misalnya, dialog ratu yang sebentar-sebentar marah, tapi detik berikutnya langsung sedih, atau meminta maaf. Itu melambangkan penokohannya yang mengidap Mood Swing akibat berbagai trauma semasa hidup. Atau ketika Karen menjadi tidak sopan kepada sang ibu, padahal dia bukan anak seperti itu. Ternyata Karen menjadi tidak sopan secara spontan, lantara sang ibu menyuruhnya melakukan sesuatu yang ia benci.
Dialog paling unik mungkin dimiliki Daphne, karena selain bentuk fisiknya yang digambarkan lucu, juga sifat peringan. Daphne sering tiba-tiba mengeluarkan petuah, lantas menertawakan kebijakannya dengan lelucon absurd.
E. Gaya Bahasa
Dari gaya bahasa penulis, terlihat betul kalau belio sangat berkiblat pada novel terjemahan, lebih spesifik lagi novel terjemahan klasik. WICH IS PERFECT!
Ayolah, aku yang menulis ini, dan gaya menulis seperti inilah yang paling membuatku betah membaca novel terjemahan. Lugas, sederhana, tapi terasa kuno dan nostalgic karena menggunakan bahasa baku. Novel ini memakai sudut pandang orang pertama lewat si sepatu, dan boleh kubilang Sepatu Merah lihai membuat pembaca peduli pada cerita.
Dia akan mengobservasi sesuatu, lalu mengomentari hal tersebut menurut sudut pandangnya. Walaupun, di beberapa tempat aku merasa ada perpindahan POV yang kurang smooth, terutama di adegan para sepatu pelayan menceritakan situasi istana. Di situ kita berpindah jadi POV 3 lewat si sepatu pantofel, kesannya kayak kebocoran POV.
Bonding antar tokoh di sini sangat bagus dan natural (pat myself on the back) You nailed it, Boo ....
Namun, ada interaksi antar Pangeran Henry dan Karen yang terkesan romantik(?) padahal seharusnya itu tidak diperbolehkan karena mereka SAUDARA!!! Tapi bukan sesuatu yang eksplisit, melainkan hal UwU yang kebablasan kalau dipikirkan terlalu lama. Yah, kalian baca sendiri, dan tentukan apakah adegan itu aneh. Aku tunggu feedback-nya.
Satu hal lagi ... BAGAIMANA LOGIKA KEHIDUPAN BENDA MATI DI SINI?
Untuk beberapa alasan, benda mati yang 'hidup' dalam novel ini cuma para sepatu, buku-buku, serta perabot besar. Bagiaman dengan tembok? Lantai? Perlatan makan? Pakaian dalam? dan ... apakah WC juga hidup? Um ... Chile ... Aku tidak mau membayangkannya!
F. Penilaian
Sampul : 5
Plot : 5
Penokohan : 5
Dialog : 5
Gaya Bahasa : 5
Tota : 5 Bintang!!!
INI BERDASARKAN REVIEW YANG SANGAT OBJEKTIF LHO!!!
G. Penutup
Mungkin kata-kataku ini terkesan sombong dan arogan. Tapi entah kenapa, saat mengetahui naskahku terpilih sebagai pemenang, aku sudah bisa menebak hal itu. Maksudku, rasanya tetap berdebar, dan harap-harap cemas di hari pengumuman. Namun, saat judul naskahku tertera di situ sebagai pemenang pertama, aku merasa memang sepantasnya.
Kemudian aku sadar, ketika penulis menciptakan karya berdasarkan hal yang mereka cintai, hal yang memang mereka jadikan minat, ditambah pengetahuan mumpuni yang mereka miliki terhadap minat tersebut. Niscaya semangat dan kepercayaan diri pun mengekor. Seolah disodorkan sesuatu yang memang sudah diharapkan seumur hidup. Pernahkah kalian merasa seperti itu?
Saat pengerjaan naskah ini, beberapa kali aku hendak menyerah. Namun aku berpikir, kenapa menyerah saat kesempatan emas ada di depan mata? Sedangkan kesempatan emas tidak mungkin datang dua kali. Maka selesailah tulisan ini di waktu yang hampir habis, lalu proses revisinya pun memakan waktu lama akibat typo yang aduhai.
Jadi untuk penulis di luar sana. Ciptakan karya yang memang akan kalian cintai dan banggakan. Kalau kalian sudah mencintai ciptaan kalian sendiri, dan menumpahkan seluruh perasaan dalam karya tersebut, dijamin khalayak ramai pun akan ikut mencintainya. Karya kalian akan mendapatkan masa jayanya suatu hari nanti.
Nah, kalian bisa membaca novelku yang bintang 5 ini di Gugel Buk KLIK DI SINI. Bisa juga pesan langsung di Sopi atau toko online lain. Setelah baca, jangan lupa tinggalkan rating dan review di GUDRID.
Sampai jumpa di review selanjutnya ^o^/
Comments
Post a Comment