Novel Vs. Film (Edisi Khusus S.G.E)

A. Akhirnya Nonton Juga!

AKHIRNYA AKU MENONTON THE SCHOOL FOR GOOD AND EVIL DI NETPLIKS!!!

Saat Om Soman Chainani mengabarkan bahwa novelnya akan diadaptasi menjadi film, aku tidak bisa menggambarkan betapa bahagianya diri ini. Menjadi saksi hidup dari terwujudnya mimpi terbesar penulis genre fantasi. Mengingat genre fantasi pasti memiliki visual non-realistik yang harus memakai dana besar guna mewujudkannya, dan akan sangat brekele kalau visual-visual tersebut gagal ditampilkan dengan baik *uhuk*Indosiar*uhuk*.

Nah, sebagai salah satu dari penggemar novel SGE, aku pun mengikuti perkembangan terwujudnya film tersebut, dari mulai pemilihan pemain, sneak-peak CGI, para eksekutif yang terlibat, sampai wawancara bersama para pemain. Oh, kalian tidak tahu bagaimana perasaanku saat poster resmi untuk film-nya keluar. Sekolah Kebaikan dan Kejahatan dipisahkan dengan menara Sang Guru di tengahnya. THAT WAS PERFECT!!!

Poster resmi S.G.E

Ditambah lagi Trailer resmi yang keluar tak lama setelahnya. OH MAY GOT! Akting, visual, CGI, kostum, semuanya menakjubkan! Ekspektasiku untuk film ini semakin melambung jauh sampai langit ke tujuh. Namun, aku buru-buru menurunkan ekspektasi tersebut mengingat ada beberapa hal yang juga membuatku kecewa, terutama dari fisik pemeran serta keputusan-keputusan yang diambil sepanjang film.

Nah apa saja Keunggulan dan Kelemahan film SGE? Silakan tengok segmen di bawah ini.

B. Keunggulan Film S.G.E

1. Visual Latar

Aku sudah membicarakan visual latar film SGE di Pesbukk, Instagrem, Yutub, bahkan segmen pembukaan di atas, karena memang SEBAGUS ITU! Dari mulai penggambaran Desa Gavaldon yang kumuh, terpencil, tapi klasik dan kuno khas dongeng. Kemudian daerah pemakaman dan rumah Agatha yang berbentuk gubuk khas penyihir. SEPERTI ITULAH LATAR TEMPAT YANG ADA DI KEPALAKU SAAT MEMBACA NOVELNYA!

Nah, ketika akhirnya mereka sampai di Sekolah Kebakan dan Kejahatan, wow-wow-wow! Sekolah Kebaikan dengan segala keindahannya, warna-warni cerah, asri, rapi, harum, dan segala hal baik lainnya. Begitu juga dengan Sekolah Kejahatan yang serba gelap, tidak teratur, horor, mencekam, gothic, dan hal-hal lain yang bikin merinding. Semuanya tervisualisasikan dengan sangat-sangat-sangat baik. Aku tidak akan pernah berhenti memuji Visual Latar film ini.

Sering kali Potterhead (Penggemar Harry Potter) garis keras mengatakan kalau novel ini adalah Harry Potter Wannabe. Um ... NO! Harry Potter itu sekolah sihir, sedangkan SGE sekolah dongeng. Hanya karena ada kata SEKOLAH bukan berarti yang satu meniru yang lainnya! Aku jamin saat menonton film ini, kalian tidak akan membandingkannya dengan Harry Potter sama sekali, karena memang tidak ada korelasinya. Terkadang Potterhead bisa menjadi sangat menyebalkan, eyuuuh!

(Kibas rambut) Sampai di mana kita tadi? Oh, Visual Latar kesukaanku tentu saja saat ... SELURUH FILM BERPUTAR.

2. CGI

Ayolah ... di tahun 2022? CGI buruk? Itu tidak akan pernah terjadi di ranah Holiwut, termasuk juga di film ini.

Burung Stymph, ON POINT!

Para Peri, NTAPSS!

Manusia serigala, PERFECT!

Storian, AMEJING!

Demonnya Hester, UWOW!

Ikan Harapan, MAGICAL!

Jack-O-Lentern, TAMVAN!

Hutan Biru, NGERI-NGERI SEDAP!

Adegan Perang Kebaikan-Kejahatan, MEMORABLE!

Mungkin karena Om Soman ikut andil menjadi direktor dalam pembuatan film ini, belio tidak mau visual dalam novelnya dibuat asal-asalan. Pokoknya sih CGI dalam film ini benar-benar mewujudkan visual dalam novelnya dengan baik.

3. Kostum

Satu komentar yang selalu aku keluarkan selama film ini berputar adalah ... “GUA MAU PAKE BAJU ITOOO!!!”

Serius, penata kostum di film ini layak mendapatkan medali. So ... ini medali dariku untukmu, Sepooh!

Singkatnya begini, kostum-kostum Sekolah Kebaikan di film ini memang kostum yang kita harapkan saat memikirkan sosok Putri dan Pangeran negeri dongeng. Mewah, berkilau, penuh warna, serta aksesoris cantik. Aku juga suka melihat Agatha selalu memakai sepatu boots hitam kesayangannya di balik gaun-gaun mewah yang dia pakai. Itu detail kecil yang aduhai. Persis di buku.

Di sisi lain, kostum-kostum Sekolah Kejahatan juga tidak kalah keren dalam artian mengerikan tanpa terlihat norak, atau dijahat-jahatin ataupun dikumuh-kumuhin. Pemilihan kostum untuk para guru dan dekan juga sempurna, misalnya Lady Lesso yang kelihatan kejam tapi elegan, atau Dekan Dovey yang kemayu, tapi bijak. Oh, I love it!

4. Akting

Sumpah demi apa pun aku suka banget akting para pemeran film ini, terutama Agatha yang baik tapi cuek, rada sarkastik, introvert, tapi juga ahli membuat rencana, dan berani. Agatha dalam novel memang selalu menjadi ‘otak’ dari segala keputusan bagus dalam konflik cerita dan Sofia Wylie sebagai pemeran Agatha berhasil mewujudkan sifat-sifat tersebut secara natural.

Begitu juga Sophie yang ‘jahat’ dalam artian egois, tapi juga selalu berusaha menjadi baik dengan bertingkah ramah pada orang-orang yang dia tidak suka. Sophie juga berpendirian kuat, sassy, genit yang semua itu tergambarkan baik oleh Sophia Anne Caruso sebagai pemeran Sophie.

Pemeran Tedros pula, awalnya aku kurang sreg sama dia karena fisiknya yang tidak sesuai novel. Tapi eh tetapi, lama-kelamaan aku naksir juga sama si Jamme Flatters sebagai pemeran Tedros. Dia memerankan Tedros dengan baik, meskipun kurang keliatan sombongnya, alias terlalu ramah. Seperti Sophie, Tedros juga sifatnya sangat nyebelin, makanya Sophie berpikir mereka cinta sejati.

Pemeran Hort, alias Earl Cave juga cute. Dia berhasil menggambarkan orang yang ngeselin, tapi juga susah dibenci karena dia so cute and adorable and UwU and funny! Oh, I love Hort so much! Baik versi novel atau film, dia mungkin tokoh favoritku. Aku berharap Tristan, Chaddik, Ravan, dan lain-lain lebih banyak disorot. Tapi ... kita semua tahu itu mustahil!

C. Kelemahan Film S.G.E

Untuk segmen ini, aku akan menulis secara spesifik apa-apa saja perubahan dari film yang justru malah menjadi kelemahan. Termasuk juga alasan mengapa hal tersebut menjadi kekurangan. Nah, mari kita mulai.

1. Sekolah Kebaikan dan Kejahatan Cuma Mitos

Di versi novel, seluruh Desa Gavaldon tahu apa itu sekolah Kebaikan dan Kejahatan, warga tahu ada sosok bernama Sang Guru yang menculik anak-anak mereka setiap empat tahun sekali. Itu sebabnya di pembukaan, Stefan (Ayah Sophie) mati-matian berusaha melindungi sang anak dari incaran Sang Guru. Padahal Sophie malah sudah menunggu saat-saat penculikan ini, sebab Sophie yakin dirinya cukup cantik dan baik untuk masuk ke Sekolah Kebaikan. Sementara Agatha yang jelek dan anak penyihir pasti diculik bersamanya untuk Sekolah Kejahatan.

Nah, di versi film eksistansi sekolah itu justru tidak diketahui siapa pun selain Sophie dan Agatha, serta penjaga toko buku Mrs. Duville. Ini jelas akan bermasalah nantinya, lantaran momen Stefan berusaha melindungi Sophie dari Sang Guru adalah bukti cintanya pada sang anak. Bahwa bagaimana pun sifat Sophie pada akhirnya, Stefan tetap menyayanginya dengan sepenuh hati. Aku cukup kecewa dengan keputusan itu.

2. Honora dan Stefan jadi Jahat

Kalian sudah bertemu Stefan alias ayah Sophie. Nah, Honora ini adalah janda yang Stefan cintai dan nantinya akan menjadi ibu tiri Sophie. Sophie membenci Honora tentu saja, dia selalu berpikir sang ibu meninggal akibat depresi melihat Stefan berselingkuh dengan Honora. Dalam novel, hubungan Honora dan Stefan memilliki kisah sendiri, dan Honora sama sekali bukan tipe ibu tiri yang jahat. Sebaliknya, dia berusaha mengambil hati Sophie, bahkan menghargainya sebagai anak.

Namun, versi film membuat seolah Honora adalah tipika Ibu Tiri Cinderella yang tukang merebus anak. Stefan versi film pun dibuat unlikeable semata-mata supaya Sophie punya alasan untuk minggat dari Desa Gavaldon. Padahal, alasan Sophie ingin minggat dari Gavaldon bukan gara-gara orang tua yang jahat, meainkan memang sifat dasar Sophie yang tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya.

Membuat Stefan dan Honora seolah antagonis, lagi-lagi akan mempengaruhi film ini kalau memang ingin dibuat sequelnya. Sebab Honora dan Stefan juga mempunyai andil penting dalam kisah. Itu juga yang membuatku cinta novel ini sejak awal. Tidak ada tokoh yang dump, alias gak penting.

3. Sophie dan Agatha Berteman Tulus

Ini mungkin keputusan film yang paling mengecewakan, sebab membuat poin nendank dari amanat ceritanya di novel benar-benar berubah. Aku paham kalau versi film harus mengubah beberapa hal agar ada hal baru yang ditawarkan, tapi ini ... Impy don’t approve!

Jadi gini ... di versi novel Sophie dan Agatha memang melambangkan jahat dan baik yang murni. Terlepas dari fisik mereka, Sophie sangat cantik tapi 100% jahat, sementara Agatha jelek tapi 100% baik. Inti dari novel kan berarti yang cantik tidak selalu baik dan yang jelek tidak selalu jahat. Yah, tipikal Don't judge the book by the cover lah. Lebih barokah lagi, Pak Soman sangat ahli dalam menunjukan sifat-sifat tokohnya secara tersirat.

Kita bisa melihat sepanjang bab awal kalau Sophie tuh tingkahnya nyebelin, dia bahkan berteman dengan Agatha cuma supaya Sang Guru menganggapnya baik, padahal Sang Guru bisa melihat hati seseorang yang paling dalam. Parahnya, Sophie YAKIN dirinya baik, itulah yang membuat penokohannya sempurna dan masuk akal kenapa dia akhirnya menjadi murid Sekolah Kejahatan. Karena dia memang pantas ada di sana.

Di sisi lain Agatha, meskipun jelek, aneh, tidak punya teman, suka hal-hal jorok yang jauh dari kata ‘bersih’ yang juga berarti ‘baik'. Di dalam hatinya Agatha peduli pada orang lain melebihi dirinya sendiri. Hal itu juga bisa dilihat dari perjuangannya menyelamatkan Sophie, kasih sayang pada kucingnya, menghormati orang tuanya, dan lain-lain.

Intinya, persahabatan Agatha dengan Sophie di novel TIDAK TULUS, mereka baru benar-benar menjadi sahabat saat ada di sekolah. Saat keduanya harus berjuang bersama untuk bisa pulang.

Jadi ketika versi film membuat Agatha dan Sophie bersahabat sejak kecil, alasan Sophie menjadi murid Sekolah Kejahatan pun jadi kurang nendank sebab alasannya tidak sejelas versi novel. Seolah Sophie masuk sekolah kejahatan cuma karena Sang Guru tertarik padanya, tanpa diperjelas tertariknya KARENA APA? Gitu loh ....

Di novel jelas Sang Guru tertarik pada Sophie karena dia 100% jahat, dan kita bisa meihat itu dari perilakunya sepanjang novel. Di versi film, Sophie beneran baik, punya orang tua yang jahat, berteman tulus dengan orang paling aneh di desa (Agatha). Itu semua kriteria Sekolah Kebaikan, dan rada aneh kalau dia masuk Sekolah Kejahatan dengan sifat-sifat seperti itu. Seperti yang kubilang, perubahan ini malah membuat ceritanya kurang masuk akal.

4. Tiga Penyihir

Nah, ini mungkin poin kedua paling mengecewakan dari film. ANADIL TIDAK ALBINO!!!

Dot, Hester, Anadil versi novel

Ya gustiii!!! Padahal Anadil itu tokoh yang paling kutunggu versi real-nya! Rasanya aku belum pernah menemukan artis albino yang memerankan film, dan ini akan jadi debut paling mengesankan! Ya, ya ,ya ... aku tahu mungkin susah mencari artis yang sebegitu spesifik, tapi ayolaaahhhh!

Selain fisik, aku juga tidak suka personality mereka di sini. Kelihatan satu jalur dan tidak sekompleks versi novel. Misalnya saja Hester yang sangat suka statusnya sebagai murid Sekolah Kejahatan, dan dia akan melakukan segala cara untuk menjadi yang terbaik dalamm bidang kejahatan. Nah, di versi film Hester malah berubah jadi kroco-nya Sophie, dan ikut senang saat Sekolah Kejahatan diiubah menjadi ‘Baik’.

Helooow, Hester yang kita kenal dan cintai TIDAK AKAN PERNAH SETUJU dengan konsep tersebut! Hester membenci Sophie, dan menganggapnya saingan abadi. Mereka bahkan tidak pernah benar-benar berteman. Itulah yang membuat Hester unik! Dalam situasi apa pun, hatinya tetap memihak kejahatan.

Di sisi lain Anadil juga berubah, dia dibuat sebaga comical relief, bahkan rada bodo. Padahal Anadil tu tpikal cewek dingin, serta kaki tangan yang setia pada Hester. Dia juga sama pintarnya dengan Hester. Pokoknya aku tidak sudi kalau Anadil dinistakan begini!!!

Anadil, Hester, Dot versi film

Karakterisasi yang paling mendingan mungkin si Dot, tapi di pun tdak se-UwU versi novel. Dot yang seharusnya anak bawang, rendah hati, dan ter-bully malah terkesan kayak figuran. Ya ... aku tau Dot versi novel ter-bully karena gemuk, dan holliwud sedang menentang segala hal buruk terjadi pada orang gemuk! TAPI TULAH POINNYA! Sebab di novel kedua Dot akan mendapat keadilan yang sepadan, kalau dari sini dia udah ‘perfect’ apa yang nantinya film kedua ambil dar penokohannya?

Inti dari segmen ini adalah ... Aku kiciwa, udeh!!!

5. Mana Pollux dan Castor!!!

Neptunus tahu betapa kecewanya aku dan seluruh fandom SGE saat Pollux dan Castor tidak ada dalam film! Ibaratnya begni ... meniadakan Pollux dan Castor sama saja menghilangkah Hagrid dari Harry Potter. Ya, sepenting itulah mereka! Keduanya adalah anjing berkepala dua, tapii satu badan yang melambangkan kebaikan dan kejahatan. Keduanya punya peran penting dalam cerita, keduanya ibarat maskot yang dicintai semua orang?

Why??? Why??? Apakah sesult itu membuat CGI anjing berkepala dua?

Pollux and Castor being Pollux and Castor

Ya ... sebenarnya aku paham mereka berdua dihlangkan supaya Dekan Dovey dan Lady Lesso punya peran yang lebih barokah, dan jujur saja aku suka tambahan plot persahabatan mereka. Tapi ayolaaaahhh!!! Kenapa harus Pollux dan Castor yang diikorbankaaan!!!

6. Callis Tidak Terlalu Berperan

Callis adalah ibu Agatha. Perannya dii novel sangat penting meskipun di novel pertama belum terlalu kentara. Callis versi novel sangat ingin Agatha masuk Sekolah Kebakan dan Kejahatan, tidak peduli di Kebakan atau Kejahatan, intinya dia cuma mau sang anak memliki hidup yang berwarna, tidak suram seperti Gavaldon. D sisi lain, Agatha malah tidak mau pergi, karena dia pikir sekolah itu cuma omong kosong. Lagi pula, dalam hatinya, Agatha tidak mau meninggalkan sang ibu sendirian di Gavaldon.

Tapi Callis memaksa Agatha untuk pergi. Nah, kenapa dia memaksa? Itu akan terjawab di buku selanjutnya. Namun, versi film tidak menunjukkan bonding tersebut. Bahkan Callis cuma muncul di satu scene, tanpa benar-benar memiliki pengaruh ke cerita seolah dia cuma figuran.

7. Uji Dongeng Kurang Nendank!

Di novel, Uji Dongeng termasuk ke dalam kurikulum sekolah. Di mana murd sepuluh besar dari masng-masing sekolah bertanding di hutan untuk memperebutkan Teater Dongeng. Itulah gunanya ranking di setiap pelajaran. Itu konsep yang sangat menarik dan tentunya masuk akal, memakai rumus sebab-akibat yang barokah. Tentu saja setiap sekolah harus memiliki uji akhir seperti itu, 'kan?

Nah, di versi film Uji Dongeng dibuat semata-mata cuma untuk membuktikan ketulusan cinta antara Sophie dan Tedros. HAAAHH??? Itu menurutku sangat dangkal, dan kagak ada nyambung ke cerita selain ruang-lingkup tokoh-tokoh utama! Walhasil kita cuma disuguhin aksi antara Sophie-Tedros-Agatha doang, padahal seharusnya kita dapat banyak aksi juga dari murid-murid berprestasi dari masing-masing sekolah.

D. Kesimpulan

In the end of the day ... sebenarnya amanat kisah The School for Good and Evil itu sama. MANUSIA TIDAK DANGKAL. Kebaikan dan Kejahatan dalam diri manusia tidak bisa dipisah-pisahkan begitu saja, dan jelas tidak ada yang murni jahat atau murni baik dari dalam diri seseorang. Kedua media menunjukan amanat tersebut dengan sangat baik. Namun, aku lebih suka cara versi novel menggambarkannya, sebab lebih kompleks, lebh seru, dan tentunya lebih nendank.

Sumpah ya, kalau kalian baca novel ini, kalian tidak akan bisa mengambil kubu antara Sophie atau Agatha. Jahat atau Baik. Sebab setiap tokoh mempunyai dua hal tersebut dalam diri mereka. Agatha punya keraguan, Sophie punya keraguan, dan kita tentunya ingin yang terbaik untuk mereka.

Memang, ada beberapa hal dangkal dari novel ini yang mungkin akan menjadi kontroversi bagi pasar Barat, alias Mamarica dan teman-teman. Seperti menilai orang dari fisik, stereotipikal, atau pembullyan. Segala hal itu memang dihilangkan di versi film, setidaknya diminimalisir. Namun, RASA dari inti utama cerita, serta amanat yang ingin disampaikan malah jadi berkurang. Kalian paham maksudku?

Film ini memberi tanda-tanda akan adanya sequel, dan aku sangat penasaran bagaimana mereka menutupi perubahan-perubahan yang kutulis di atas. Apakah akan menjadi Plot Hole atau malah barokah. Sebab, perubahan dalam adaptasi film terkadang tidak terlalu buruk dan malah menjad sebuah kelebhan (Mss Peregrine contohnya!)

Baiiklah, segitu dulu pembahasan Novel Vs. Film edisi khusus kali ini. Mari kita tunggu S.G.E 2 (Duniia Tanpa Pangeran) yang masih belum ketahuan aroma-aromanya!

Sampai jumpa di lain waktu ^o^/

Honorable Mention!

  • Pertarungan Tedros ama murid Cyclops ntapss juga, euy!
  • Tambahan Plot Gregor lumayan barokah juga. Membuat penonton jadi lebih bersimpati pada murid-murid.
  • Tedros melawan Jack-O-Lentern mantaps juga!!! Am I have crush on this dude?
  • I’m not a Furry but that werewolf guy is kinda hot to be completely honest.
  • UwU ada Om Soman jadi Cameo! Tamvan bener lu, Bwang!
  • JADI INI BENERAN BAKAL ADA SEQUELNYA?

Dishonorable mention

  • Rambut Tedros kok gak pirang!
  • Mana Putri Uma dan kelas mempelajari bahasa hewan?
  • Mana Beast!!!
  • Sang Guru kok gak berwujud Jack Frost!!! NOOOO!!!!
  • Plot Leonora is kinda dumb! Padahal Leonora harusnya Evelyn dari buku kedua! Boooo!!!

Comments

Impy's all-time-fav book montage

The School for Good and Evil
A World Without Princes
The Last Ever After
Quests for Glory
House of Secrets
Battle of the Beasts
Clash of the Worlds
Peter Pan
A Man Called Ove
My Grandmother Asked Me to Tell You She's Sorry
The Book of Lost Things
The Fairy-Tale Detectives
The Unusual Suspects
The Problem Child
Once Upon a Crime
Tales From the Hood
The Everafter War
The Inside Story
The Council of Mirrors
And Every Morning the Way Home Gets Longer and Longer


Impy Island's favorite books »

Baca Review Lainnya!

Ily

Laut Bercerita

Aku Menyerah pada Serial Omen-nya Lexie Xu

Novel-novel Terkutuk (Mostly Watpat)

Matahari Minor

Mbah Rick Riordan Melanggar Semua Pakem dalam menulis POV1 (dan Tetap Bagus)

Sky Academy