The Bookaholic Club


Judul : The Bookaholic Club

Penulis : Poppy D. Chusfani

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

ISBN : 9789792232363

Tebal : 192 Halaman

Blurb :

Des penyihir. Tori gagap dan culun. Chira bisa melihat hantu. Erin luar biasa cantik dan populer. Keempat remaja yang tampaknya bertolak belakang ini ternyata memiliki kesamaan, merasa terkucil dan mencintai buku. Tanpa sengaja mereka berkawan.

Tanpa sengaja? Itu pikir mereka. Ada yang sengaja mempertemukan mereka, demi tugas yang harus mereka hadapi. Tugas mengerikan yang akan menghadapkan mereka pada situasi hidup dan mati, mimpi buruk yang jadi kenyataan. Keempat anak yang menyebut diri sebagai The Bookaholic Club ini bakal melakukan sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar mendiskusikan buku.
MENGANDUNG SPOILER!!!

A. Tokoh Utama Lebih dari satu? Yes, Please!

Protagonis adalah tokoh utama.

Seseorang atau sesuatu yang menjadi fokus utama dalam cerita (Jangan mulai membahas MC MC-an kepadaku karena idealis kita udah beda seJak awal!). Nah, protagonis tidak harus manusia, bisa saja hewan, tumbuhan, benda, bahkan makanan dan minuman. Peluangnya tak terbatas!

Protagonis juga tidak harus-kudu-mesti-wajib-fardu berbudi luhur seperti yang diajarkan guru Bahasa Indonesia tercinta selama 12 tahun masa sekolah. Contoh mudahnya adalah diri kita sendiri sebagai protagonis di dunia. Kita pernah berbuat baik, kita pernah bertindak tidak terpuji. Kita adalah malaikat bagi beberapa orang, dan iblis bagi orang lain.

Kalian paham maksudku? Baik-buruknya protagonis akan berubah dari sudut pandang tokoh berbeda.

Satu lagi, Protagonis tidak harus selalu tunggal. Novel inilah contohnya. The Bookaholic Club menjadi novel incaranku sejak SMP, tapi tidak kebeli karena asas Student = POOR! Sampai suatu hari tiba-tiba aku menjadi Carrier Woman dan mampu membeli novel-novel menggunakan uangku sendiri.

Seperti yang terlihat di sampul dan Blurb, novel ini mengisahkan empat remaja yang tanpa sengaja bersahabat karena mereka semua mencintai buku. Maka keempatnya bisa disebut Protagonis. Ayolah, aku zaman SMP MENCINTAI sampul novel ini! Aku suka sampul novel yang mencantumkan ilustrasi tokoh-tokohnya.

Tanpa berlama-lama, marilah kita jelajahi The Bookaholic Club

B. Plot

Terakhir membaca novel Teenlit-Fantasi di era Golden Decade adalah Aerial, dan kita semua tahu bagaimana tanggapanku terhadap buku awikwok itu. Makanya ekspektasiku pada The Bookaholic Club agak rendah, lantaran novel ini lebih mengedepankan Teenlit daripada Fantasi.

Namun, kita tidak akan tahu sebelum mencoba, yekan? Lagi pula novel ini memiliki salah satu unsur yang menjadi kesukaanku dalam sebuah novel, yaitu Protagonis beragam. Tentu saja kepribadian yang juga beragam.

Empat bab awal fokus berisi perkenalan tokoh utama, latar belakang serta keunikan mereka. Ada Des si penyihir, Tori yang bicaranya gagap, Chira punya indra keenam dan paling missqueen di antara mereka, serta Erin si cantik yang populer. Masing-masing tokoh memperkenalkan diri lewat sudut pandang orang pertama (POV1) sehingga kita diajak melompat-lompat POV antara satu tokoh dan lainnya.

Dibalik kepribadian berbeda, keempat remaja itu mempunyai satu kesamaan, yaitu mereka mencintai buku, bisa saling mengerti saat melakukan segala aktifitas yang berhubungan dengan buku. Tipikal Teenlit tema persahabatan. Klise, tapi tak lekang oleh waktu karena itu cute dan reletable, let’s be honest here ....

Mereka pikir, terjalinnya pertemanan ini hanyalah kebetulan. Ternyata oh ternyata, mereka memang sudah dijampi-jampi supaya bertemu dan berteman oleh kakek misterius bernama Kakek Lim. Belio Spill the Tea bahwa nenek moyang Des telah melepaskan Makhluk Bayangan ke dunia manusia sehingga makhluk itu mencari mangsa setiap seratus tahun sekali.

Sayang beribu sayang, karena takdir (alias plot) Des dan ketiga temannya kebagian mencegah makhluk bayangan ini sampai seratus tahun yang akan datang. Kakek Lim pun memberi buku kuno berisi tutorial melawan Makhluk Bayangan. Maka keempat remaja ini kebagian peran masing-masing sesuai ramalan dalam buku.

Buku itu ditulis dalam bahas Rune kuno dan hanya Tori yang bisa membacanya, Des dan Chira bertugas menjadi mata dan rasa, sementara Erin adalah medium yang bertugas turun lapangan.

Sampai di sini aku sangat menikmati novelnya. Dialog serta Gaya Bahasa setiap tokoh begitu menunjukkan kepribadian mereka sehingga setiap Bab tidak monoton serta punya keunikan sendiri.

HOWEVAH!!!

Seperti keluhanku pada novel Fantasi yang bahkan tidak mencapai 200 halaman adalah penyampaian terburu-buru dalam berbagai aspek. Beberapa plot dan Twist dipaksa ada, mungkin supaya ending-nya nendank. Alih-alih nendank, aku malah mengernyit sambil bilang, “Lah, kok ...”

Misalnya kekuatan Chira yang digembar-gembor bisa melihat hantu, pada akhirnya kekuatan itu tidak berguna sama sekali untuk penyelesaian konflik. Malah kekuatan membaca aura yang lebih sering Chira pakai. Maksudku, kenapa Melihat Hantu secara spesifik disebut dalam Blurb kalau pada akhirnya kekuatan itu useless?

Awalnya aku berpikir Chira akan berperan besar melawan Makhluk Bayangan karena hanya dia yang bisa melihat makhluk itu. Dia menjadi mata bagi teman-temannya seperti Jacob di Miss Paregrine (Versi film). Ternyata teman-temanya juga bisa melihat makhluk itu dengan mata telanjang. Pada akhirnya, Melihat Hantu malah cuma jadi ajang keren-kerenan.

Novel ini juga terkesan Trying too Hard alias mencoba terlalu keras untuk menampilkan Twist Villain SAMPAI DUA KALI! Di saat si Twist Villain ini tidak pernah memiliki peran berfaedah selain nongol sekali-dua kali sambil mengucapkan beberapa dialog brekele.

Jadi ketika Twist Villain itu muncul pertama kali, lalu kedua kali. Dua-duanya memang tidak terduga, tapi bukan dalam artian positif. Lebih ke gak masuk akal dan gak ada yang peduli, lantaran tokoh tersebut tidak pernah punya andil signifikan sejak awal.

Tidak pernah ada foreshadowing yang menuntun pembaca ke arah sana sama sekali. Maksudku ... kita semua pasti setuju kalau Twist bukan berarti membuat hal random nongol tiba-tiba dan memaksa jadi penting.

Mustahil kita membuat tokoh tukang bakso yang cuma muncul sekali-dua kali sambil teriak “Bakso! Bakso!”, tapi ternyata di akhir cerita dia adalah Voldemort yang bereinkarnasi jadi tukang bakso. Memang tidak terduga, memang termasuk Twist. Tapi sangat konyol, out of no where, dan tidak berkelas! Itulah juga yang terjadi dalam novel ini.

Belum lagi ending yang dipaksa gelap padahal sepanjang cerita vibe-nya Enid Blyton nan family friendly. Selain itu, sekali lagi ... membuat satu tokoh tewas semata-mata cuma supaya ceritanya ‘sedih’ TIDAK AKAN BERHASIL kalau tokoh tersebut tidak pernah berkesan di mata pembaca.

Ibarat kalian mendengar tetangga kalian meninggal, kalian mungkin bersimpati, kalian mungkin berduka cita. Tapi untuk peduli, apakah iya? Mari kita bicara jujur ... kita tidak akan peduli pada kematian tokoh (atau seseorang) yang tidak kita kenal baik.

Kesimpulannya sih, novel ini jelas menarik, terutama dari gaya bahasa dan dialog. Namun, arah suasana keseluruhan novel ini tidak jelas. Mau jadi novel ringan atau berat? Mau mempunyai konflik sederhana atau rumit? Karena dengan jumlah halaman yang cuma se-iprit begini mustahil bisa mencantumkan semuanya sekaligus.

C. Penokohan

Des. Penyihir masa kini. Anaknya cuek dan judes. Memiliki orang tua pengertian serta kehidupan serba berkecukupan. Dia mungkin anggota paling kaya di grup ini. Memiliki rumah bak istana lengkap dengan perpustakaan pribadi dan kolam renang. Tapi untuk beberapa alasan dia yang paling sering mengeluh kalau hidupnya tidak bahagia.

Yah ... Des mungkin tokoh terakhir yang aku sukai sebab dia tidak pernah menganggapi serius hal apa pun padahal hal tersebut berhubungan langsung dengannya. Dia sering mengeluhkan hal paling sepele. Lagi pula kekuatan sihirnya cuma sebatas menyembuhkan dan membuat luka kulit. Apakah tidak terlalu digali karen jumlah halaman terlalu sedikit? Pasti!

Tori. Si gagap yang berugas menjaga grup(?). Tori diurus oleh single mother yang suka berpesta padahal Tori benci pesta. Tugasnya dalam grup ini adalah menerjemahkan bahasa kuno dan menjadi penjaga saat Des dan Chira melakukan ritual. Aku paling suka penokohannya, dia sweet dan sangat memedulikan teman-temannya.

Chira. Punya indra keenam (aku menolak menyebut kekuatannya “Bisa Melihat Hantu” soalnya useless, h3h3). Kebalikan dari Des, Chira mungkin anggota paling misqueen dalam kelompok. Tinggal bersama single father dan masuk sekolah elit dengan bantuan beasiswa. Anehnya kalau aku ingat-ingat sekarang, kepribadian Chira tidak semenonjol yang lain. Atau itu perasaanku saja.

Erin. Aku kurang suka keputusan penulis membuat Erin ikut dikucilkan karena berteman dengan tiga teman brekele-nya. Maksudku, kelebihannya memang cantik dan populer, bukankah seharusnya, entah bagaimana justru dia bisa mempengaruhi anak populer untuk menerima mereka. Bahkan menjadikan buku sebagai hal keren.

Gunakan kharisma dan kepintaran bicaranya gitu, loh! Jangan cuma dijadikan Damsel in Distress! Padahal banyak potensi kekuasaan dari trope cantik dan populer seperti Erin. Contoh saja Regina George dari film Mean Girls.

Bellin. Anak baru di sekolah. Aku bahkan tidak tahu kepribadian tokoh ini selain penjabaran kalau dia gantenk dan banyak yang naksir (bruuh).

Kakek Lim. Tipikal Shi-fu alias guru-guru yang menjadi mentor orang-orang berkekuatan.

Si Drag Queen. Aku bahkan lupa siapa namanya saking gak pentingnya dia di novel ini. Pokoknya peran dia di novel ini cuma sebagai pelatih cheerleader.

Luana dan antek-antek. Apalah jadinya Tenenlit tanpa tokoh Mean Gorls?  

D. Dialog.

Dialog-dialog dalam novel terbitan Golden Decade nyaris mustahil tidak bagus. Percakapan antar tokoh natural, perbedaan dari pertama mereka PDKT sampai akhirnya menjadi sahabat dekat pun kentara. Di awal mereka hanya bicara sedikit-sedikit atau seperlunya, kemudian menjadi lebih panjang dan santai setelahnya.

Kepribadian para tokoh utama juga terlihat menonjol pada dialog masing-masing. Kita tahu Des judes dan sinis tanpa harus dinarasikan berulang-ulang. Kita tahu Tori gagap dan masih canggung meskipun sudah bersahabat dekat. Kita tahu Chira rada jahil dari caranya menakut-nakuti teman-temannya. Mungkin hanya satu yang kurang, yaitu dialog Erin yang aku harapkan lebih terasa supel mengingat dia populer.

Pemilihan kata formal dan non-formal juga memberikan kesan natural. Gaul, tapi memiliki sedikit esensi Fantasi, kalau kalian paham maksudku. Sebab pemilihan kata full baku, tidak akan cocok untuk genre Teenlit, sementara kalau full gaul tidak akan masuk ke dalam genre fantasi. Jadi penulis harus bisa menyeimbangkan antara pemilihan kata, genre, dan tema.

Poppy D. Chusfani berhasil melakukan itu.

E. Gaya Bahasa

Perasaanku terhadap gaya bahasa novel ini sebenarnya campur-campur. Aku suka konsep berpindah-pindah sudut pandang sehingga kita bisa mengetahui perasaan dan pemikiran dari keempat tokoh utama. Namun, ada saat-saat di mana konsep tersebut malah bikin gaya berceritanya tidak efektif.

Tak jarang beberapa Bab hanya terdiri dari satu-dua paragraf, lalu langsung pindah ke bab baru. Dibuat seperti itu cuma supaya kita tahu bagaimana reaksi masing-masing tokoh pada suatu kejadian. Itu terdengar dan terlihat aneh, karena sejatinya ‘Bab’ adalah pembagian dari cerita panjang.

Setiap bab seharusnya memiliki gagasan dan kesimpulan, bagaimana bisa ada gagasan dan kesimpulan kalau cuma SATU PARAGRAF!!!

Mungkin novel ini akan lebih nyaman kalau menggunakan sudut pandang orang ketiga supaya ekspresi dan reaksi tokoh bisa disebutkan sekaligus tanpa harus berpindah-pindah bab. Tapi eh tetapi, novel ini secara keseluruhan sudah menyenangkan jadi aku tidak akan terlalu banyak mengeluh. Ini hanya catatan kecil yang mengganggu.

F. Penilaian

Cover : 3,5

Plot : 2,5

Penokohan : 3

Dialog : 2,5

Gaya Bahasa : 3

Total : 3 Bintang


G. Penutup

The Bookaholic Club adalah salah satu novel impianku zaman SMP, apakah novel itu akhirnya sesuai harapan setelah dibaca di usia yang nyaris seperempat abad?

HEEL YEAH!!!

Ini novel Golden Decade after all ... masa di mana penulis-penulis memahami target baca mereka, memahami konflik apa yang tengah marak, menyisipkan amanat yang berguna, dan berusaha menjadi reletable (dan berhasil).

Aku kangen masa-masa ini, dan berharap novel era Golden Decade bisa kembali jaya di zaman sekarang supya generasi sekarang tahu seperti apa Teenlit yang sesungguhnya. Itu doa dan harapanku setiap malam sebelum tidur. Gak juga sih, h3h3 ....

Usut- punya usut, novel ini ada sequelnya berjudul Hantu-hantu Masa Lalu. Aku sudah punya novelnya, saat ini sedang dalam proses baca. Jadi kita masih akan membahas novel ini untuk review selanjutnya. Harapanku tentu saja konflik dan penyelesaian yang lebih nendank, bersama alur yang stabil alias tidak terlalu ngebut.

Sampai jumpa di kesempatan selanjutnya ^o^/

Comments

Post a Comment

Impy's all-time-fav book montage

The School for Good and Evil
A World Without Princes
The Last Ever After
Quests for Glory
House of Secrets
Battle of the Beasts
Clash of the Worlds
Peter Pan
A Man Called Ove
My Grandmother Asked Me to Tell You She's Sorry
The Book of Lost Things
The Fairy-Tale Detectives
The Unusual Suspects
The Problem Child
Once Upon a Crime
Tales From the Hood
The Everafter War
The Inside Story
The Council of Mirrors
And Every Morning the Way Home Gets Longer and Longer


Impy Island's favorite books »

Baca Review Lainnya!

Ily

Laut Bercerita

Aku Menyerah pada Serial Omen-nya Lexie Xu

Novel-novel Terkutuk (Mostly Watpat)

Matahari Minor

Mbah Rick Riordan Melanggar Semua Pakem dalam menulis POV1 (dan Tetap Bagus)

Sky Academy