Fajar Hitam (Legenda Ksatria Cahaya #5)
Penulis : Andry Chang
Penerbit : Qiara Media Partner
ISBN : 9786026588319
Tebal : 338 Halaman
Blurb :
Rentetan perang di Terra Everna.
Saatnya untuk merebut kembali kota-kota dan
negeri-negeri yang dikuasai Laskar Kegelapan.
Para pahlawan kembali bersatu, negeri-negeri
di Benua Aurelia kini bahu-membahu.
Menyerbu terus ke Negeri Fajar Hitam untuk
menumpas Sang Pewaris Vordac, si biang prahara.
Tuntaskanlah, Ksatria Cahaya! Terbitkanlah fajar baru.
MENGANDUNG SPOILER!!!
A. Anugerah dari Vadis nan Agung!
Pembaca Budiman, oh Pembaca Budiman! Akhirnya kita sampai di akhir petualangan seri Ksatria Cahaya, juga langsung membuat review tanpa harus menunggu satu tahun! Apakah ini mimpi? Apakah ini anugerah dari Sang Vadis sendiri? Yang jelas aku bangga pada diriku karena dengan selesainya review seri Ksatria Cahaya, maka satu lagi resolusi tahun 2023 terpenuhi.Mari kita bicarakan sampul novel Fajar Hitam terlebih dahulu, sebab setelah Topeng Emas (buku ke-3) mungkin Fajar Hitam menjadi sampul kesukaanku. Tidak seperti sampul-sampul terdahulu yang antara ilustrasi dan latar belakang terkesan betubrukan, kali ini ilustrasi tokoh (Sang Pewaris Vordac) terlihat menyatu sempurna bersama latar belakang.
Bisa jadi juga karena ilustrasi si Pewaris terlihat tamvan dan aku mungkin agak-agak fangirling dengannya, tapi marilah jangan diperpanjang masalah fangirling ini ....
Satu hal yang menurutku tidak berhasil dari sampul novel ke-5 adalah se-fruit fakta bahwa penulis berusaha terlalu keras untuk membuat pembaca menduga-duga ‘sesuatu’ yang tidak seharusnya diduga-duga, sebab ‘sesuatu’ tersebut mustahil terjadi di dunia Everna ini.
Apakah itu?
Untuk mengetahuinya kalian harus membaca review novel ini lebih jauh terutama segmen Plot yang seperti biasa akan sepanjang jalan kenangan. SEMUA review seri Ksatria Cahaya selalu mencapai 3000+++ kata. Entah kenapa khusus seri ini aku ingin Pembaca Budiman ikut mengetahui detail kecil cerita serta poin-poin unggul maupun keluhan spesifik yang ingin kusampaikan.
Toh, ini novel epik fantasi, reviewnya pun harus epik, yekan?
SUDAH!!! Mari kita langsung menuju Plot.
Laskar Terang hampir runtuh gegara serangan-serangan Laskar Gelap di berbagai negeri. Diperparah dengan terguncangnya mental Chris akibat kehilangan kakak dan sang ayah sehingga membuatnya tak bisa berpikir jernih. Eloise diculik Laskar Gelap lagi (Aqu sudah muaq!), dan hampir pecahnya perang besar antar Cahaya dan Kegelapan.
Apakah harapanku dari novel terakhir ini? Tentu saja ingin menyaksikan perang akhir epik nan barokah antar kubu Gelap dan Terang. Melihat langsung keagungan serta kejahatan murni dari Vordac yang kebangkitannya sudah diwanti-wanti sejak buku pertama. Intinya aku ingin konklusi alias penyelesaian berfaedah dari petualangan epik ini.
Jujur saja ekspektasiku pada novel terakhir seri Ksatria Cahaya ini sangat-sangat-sangat rendah mengingat begitu banyak problem serta keluhanku di novel-novel sebelumnya. Keluhan utama di antaranya; gaya penceritaan ala RPG (terutama dialog awikwok), penulis terlalu menganak-emaskan Robert, banyak adegan serta latar belakang tidak jelas atau kurang dijelaskan, juga keputusan-keputusan tokoh yang kadang terlalu wadidaw.
Di sisi lain aku juga takut novel ini berakhir seperti seri sebelah. Di mana musuh besar yang sepanjang seri dielu-elukan, digembar-gembor tak terkalahkan, ribuan tahun berlatih, menguasai ilmu tertinggi, juga sakti mandra guna, kalah dengan cara PALING BREKELE dari seluruh sejarah pernovelan dunia.
Nyatanya Fajar Hitam mengakhiri seri Ksatria Cahaya dengan cara yang ... well ... EPIK, dan itu membuatku SANGAT SENANG!
Meskipun keluhan-keluhan di novel sebelumnya masih ada. Namun, semua keluhan terbayar dengan banyak aksi serta peperangan super seru, strategi-strategi masuk akal, kubu-kubu yang tadinya berbeda pandangan kini bersatu demi kedamaian dunia. Ada pula pengkhianatan serta aliansi tak terduga baik dari kubu Gelap maupun Terang.
Satu lagi ... seluruh adegan pertarungan dengan Juggernaut, 150% YES! LOVE IT!
Sebenarnya ada satu perubahan drastis dari novel ini yang membuatku lebih menikmati ceritanya dari awal sampai akhir. Kalian pasti bisa menebak, sebab memang inilah keluahan utamaku di serial Ksatria Cahaya. Benar ... Penulis tidak lagi terlalu MENGANAK-EMASKAN ROBERT! (lompat ke rawa-rawa penuh suka cita).
Ternyata satu hal itulah yang paling membuatku eneg pada serial Ksatria Cahaya. Kebencianku pada Robert akibat si penulis terlalu mencintainya! Terbukti saat penulis tidak melakukan itu, novelnya sangat enjoyable.
Walaupun tetap ada satu momen brekele menyangkut kecintaan penulis pada Robert. Inilah ‘sesuatu’ dari sampul novel yang ingin kubicarakan di awal.
B. Plot
Coba kita rekap singkat kejadian di novel terdahulu (Naga Hijau) ... Chris ternyata Pewaris Vadis sekaligus Kaisar Arcadia (Sage), Robert dituduh membvnvh Alexis sekaligus dituduh sebagai Pewaris Vordac, tenggelamnya perahu-perahu kesayangan kita (Chris x Iris dan Robert x Eloise are no more!).Laskar Terang hampir runtuh gegara serangan-serangan Laskar Gelap di berbagai negeri. Diperparah dengan terguncangnya mental Chris akibat kehilangan kakak dan sang ayah sehingga membuatnya tak bisa berpikir jernih. Eloise diculik Laskar Gelap lagi (Aqu sudah muaq!), dan hampir pecahnya perang besar antar Cahaya dan Kegelapan.
Apakah harapanku dari novel terakhir ini? Tentu saja ingin menyaksikan perang akhir epik nan barokah antar kubu Gelap dan Terang. Melihat langsung keagungan serta kejahatan murni dari Vordac yang kebangkitannya sudah diwanti-wanti sejak buku pertama. Intinya aku ingin konklusi alias penyelesaian berfaedah dari petualangan epik ini.
Jujur saja ekspektasiku pada novel terakhir seri Ksatria Cahaya ini sangat-sangat-sangat rendah mengingat begitu banyak problem serta keluhanku di novel-novel sebelumnya. Keluhan utama di antaranya; gaya penceritaan ala RPG (terutama dialog awikwok), penulis terlalu menganak-emaskan Robert, banyak adegan serta latar belakang tidak jelas atau kurang dijelaskan, juga keputusan-keputusan tokoh yang kadang terlalu wadidaw.
Di sisi lain aku juga takut novel ini berakhir seperti seri sebelah. Di mana musuh besar yang sepanjang seri dielu-elukan, digembar-gembor tak terkalahkan, ribuan tahun berlatih, menguasai ilmu tertinggi, juga sakti mandra guna, kalah dengan cara PALING BREKELE dari seluruh sejarah pernovelan dunia.
Nyatanya Fajar Hitam mengakhiri seri Ksatria Cahaya dengan cara yang ... well ... EPIK, dan itu membuatku SANGAT SENANG!
Meskipun keluhan-keluhan di novel sebelumnya masih ada. Namun, semua keluhan terbayar dengan banyak aksi serta peperangan super seru, strategi-strategi masuk akal, kubu-kubu yang tadinya berbeda pandangan kini bersatu demi kedamaian dunia. Ada pula pengkhianatan serta aliansi tak terduga baik dari kubu Gelap maupun Terang.
Satu lagi ... seluruh adegan pertarungan dengan Juggernaut, 150% YES! LOVE IT!
Sebenarnya ada satu perubahan drastis dari novel ini yang membuatku lebih menikmati ceritanya dari awal sampai akhir. Kalian pasti bisa menebak, sebab memang inilah keluahan utamaku di serial Ksatria Cahaya. Benar ... Penulis tidak lagi terlalu MENGANAK-EMASKAN ROBERT! (lompat ke rawa-rawa penuh suka cita).
Ternyata satu hal itulah yang paling membuatku eneg pada serial Ksatria Cahaya. Kebencianku pada Robert akibat si penulis terlalu mencintainya! Terbukti saat penulis tidak melakukan itu, novelnya sangat enjoyable.
Walaupun tetap ada satu momen brekele menyangkut kecintaan penulis pada Robert. Inilah ‘sesuatu’ dari sampul novel yang ingin kubicarakan di awal.
Kalau kalian lihat ilustrasi Pewaris Vordac di sampul dibuat mirip Robert, terutama ciri khas rambut putihnya. Penulis berusaha membuat pembaca menduga-duga bahwa memang Robertlah Pewaris Vordac, padahal kenyataannya hal itu MUSTAHIL terjadi.
Tentu saja MUSTAHIL tokoh kesayangan penulis tidak menjadi pahlawan dalam cerita! Seperti biasa hal itu terlihat dari perbedaan deskripsi antara Robert asli dengan yang diduga Robert Pewaris Vordac.
Tentu saja MUSTAHIL tokoh kesayangan penulis tidak menjadi pahlawan dalam cerita! Seperti biasa hal itu terlihat dari perbedaan deskripsi antara Robert asli dengan yang diduga Robert Pewaris Vordac.
Biar kujelaskan ... Di satu deskripsi penulis menjabarkan si Pewaris Vordac seperti ini, “... Rambut putihnya menjuntai ke bawah dari tudung itu. Ia jadi lebih mirip pengemis.”
Terlihat jelas kalau penulis ingin membuat pembaca menganggap si Rambut Putih ini adalah Robert, menduga-duga bahwa Pewaris Vordac adalah Robert si Ksatria Cahaya. Namun, sekali lagi ... MUSTAHIL BIN MUSTAHAL Penulis menjabarkan Robert dengan kata ‘pengemis’. Belio tidak akan rela melakukan itu pada tokoh kesayangannya, percayalah padaku!
Sudah empat novel Ksatria Cahaya aku lahap, biasanya rambut putih Robert asli dua kelinci selalu dijabarkan mirip salju, indah dan halus, menyatu dengan wajah dinginnya, literally segala hal indah di dunia. POKOKNYA kalau seonggok tokoh tidak digambarkan tamvan dan hebat dan Gary Stu, tokoh tersebut sudah pasti BUKAN ROBERT! Itulah KUNCI dari seri Ksatria Cahaya!
Makanya, daripada menduga-duga reaksiku malah, “Ya elah, Pacc Penulis! Mau bikin false foreshadowing kagak begini juga duooong! Ini mah ketahuan banget!”
False Foreshadowing seperti itu diulang beberapa kali sampai-sampai aku menjerit, “Guweh udah tau kalo itu bukan Robert!!! Tjukup menduga-duga!!! Guweh gak menduga-duga itu Robert!!!”
Yah ... tapi selain satu hal spesifik itu, Robert tidak lagi terlalu dipuja-puji sama penulis. Semua tokoh di sini punya peran barokah masing-masing, tidak ada lagi anak bawang. Yeay!
Laskar Terang pun berpecah menjadi beberapa kelompok untuk merebut kembali kota/negeri jajahan Laskar Gelap, di antaranya; Fraidle, Merida, dan Dalamar. Setiap daerah punya kelebihan dan kekurangan masing-masing dari segi eksekusi cerita.
Terlihat jelas kalau penulis ingin membuat pembaca menganggap si Rambut Putih ini adalah Robert, menduga-duga bahwa Pewaris Vordac adalah Robert si Ksatria Cahaya. Namun, sekali lagi ... MUSTAHIL BIN MUSTAHAL Penulis menjabarkan Robert dengan kata ‘pengemis’. Belio tidak akan rela melakukan itu pada tokoh kesayangannya, percayalah padaku!
Sudah empat novel Ksatria Cahaya aku lahap, biasanya rambut putih Robert asli dua kelinci selalu dijabarkan mirip salju, indah dan halus, menyatu dengan wajah dinginnya, literally segala hal indah di dunia. POKOKNYA kalau seonggok tokoh tidak digambarkan tamvan dan hebat dan Gary Stu, tokoh tersebut sudah pasti BUKAN ROBERT! Itulah KUNCI dari seri Ksatria Cahaya!
Makanya, daripada menduga-duga reaksiku malah, “Ya elah, Pacc Penulis! Mau bikin false foreshadowing kagak begini juga duooong! Ini mah ketahuan banget!”
False Foreshadowing seperti itu diulang beberapa kali sampai-sampai aku menjerit, “Guweh udah tau kalo itu bukan Robert!!! Tjukup menduga-duga!!! Guweh gak menduga-duga itu Robert!!!”
Yah ... tapi selain satu hal spesifik itu, Robert tidak lagi terlalu dipuja-puji sama penulis. Semua tokoh di sini punya peran barokah masing-masing, tidak ada lagi anak bawang. Yeay!
Laskar Terang pun berpecah menjadi beberapa kelompok untuk merebut kembali kota/negeri jajahan Laskar Gelap, di antaranya; Fraidle, Merida, dan Dalamar. Setiap daerah punya kelebihan dan kekurangan masing-masing dari segi eksekusi cerita.
Misalnya di Merida, penyelesaiannya sangat mirip Isengard LOTR di mana ada adegan bendungan runtuh menyebabkan banjir bandang, lantas membuat kubu pahlawan kita menang. Itu secara keseluruhan adalah adegan keren dan eksekusinya di sini bisa dibilang keren.
Aku punya satu masalah spesifik di satu adegan, tepatnya di Bab Fraidle meskipun aku lupa di mana latar tempat aslinya. Intinya di situ ada pertarungan Orc lawan Orc (Dar’gum dan Hagnorj) yang secara keselruhan khas RPG, alias lebih banyak rumpi daripada bertarung.
Aku punya satu masalah spesifik di satu adegan, tepatnya di Bab Fraidle meskipun aku lupa di mana latar tempat aslinya. Intinya di situ ada pertarungan Orc lawan Orc (Dar’gum dan Hagnorj) yang secara keselruhan khas RPG, alias lebih banyak rumpi daripada bertarung.
Masing-masing Orc saling lempar dialog yang menandakan bahwa mereka benci satu sama lain. Sampai akhirnya Dar’gum berhasil melumpuhkan Hagnorj. Sebagai tim Laskar Terang, Dar’gum pun memberi semacam pengampunan kepada Hagnorj dan tidak membunuhnya saat itu juga. Namun, tiba-tiba Hagnorj malah menyerang balik dari belakang.
Itu adegan normal dalam peperangan, tapi yang membuatnya tidak normal adalah pikiran si Dar’gum yang berbunyi ....
“Dar'gum terperanjat, namun ia terlalu lemah untuk bereaksi cepat. Maut tak terhindarkan lagi. Wajahnya tampak amat terkejut, tak pernah menduga ayah mertuanya bakal membalas kebaikan dan kemurahan hatinya dengan pengkhianatan terendah.”
‘Tak pernah menduga’ katenye ... Padahal SEPANJANG PERTARUNGAN itu si Hagnorj (ayah mertua Dar’gum) terang-terangan bilang berkali-kali, “Guweh benci eluh! Guweh gak peduli apa pun, intinya guweh pengen eluh mati!” dan saat diserang mendadak dari belakang si Dar’gum malah mikir ‘tak pernah menduga’?
Darling ... The brain is not braining! Maksudku, dia memang Orc dan mungkin otaknya tidak secerdas manusia, entahlah.
Sebenarnya bukan hanya itu keluhan dari adegan perebutan kekuasan sepanjang novel. Aku berkali-kali bilang kalau style RPG tidak pernah cocok dengan seleraku, terutama cara para tokoh ngerumpi cantik sepanjang bertarung. Kalau ditotal kayaknya porsi dialog tokoh saat hendak bertarung jauh lebih banyak daripada narasi bertarungnya sendiri.
Sayang beribu sayang, itu masih terjadi di novel ini.
Misalnya di setiap daerah, Ksatria Cahaya pasti melawan semacam Big Boss kecil, dan SEMUA Big Boss di setiap daerah tersebut pasti membuat dialog panjang tentang sejarah mereka atau tujuan mereka menjadi jahat.
Sargathos mendongeng, “Dahulu kala aku memang manusia, tapi setelah ke klinik tong-fang aku pun jadi ebles ....”
Hagnorj curcol, “Anakku mati setelah menikahimu. Dia tidak cocok tinggal di Meikarta, karena udaranya tidak cocok untuk Orc unyu seperti dia. Makanya kao juga harus mati ....”
Iris meng-spill masa lalu Zlvyra. “Eloh jadi begini gegara si Ucup ninggalin eloh, ‘kan? Ngaku deh loh!”
Xylen mengadu, “Aku jadi begini karena cintrong sama Robert. Akulah Felicita yang dulu dipatahkan hatinya oleh Robert lope-lope ....”
Maksudku ... haruskah semua latar belakang musuh di-spill dengan metode Telling dialog begitu?
Bola mataku otomatis berputar setiap kali ada musuh yang spill the tea tentang sejarah atau tujuan mereka. Kesannya kayak out of no where aja gitu. Udah mereka spill the tea, ujung-ujungnya mereka sendiri yang bingung dan bertanyea-tanyea kenapa para Ksatria Cahaya tahu kelemahan mereka.
LAH PAN ELU SENDIRI YANG NGASIH TAU, SEMPAK!!! (Nyeruput baygon)
Sumpah ya, adegan-adegan Telling dan dialog awikwok seperti itu yang membuat style RPG di novel ini (juga secara keseluruhan) terasa aneh di mataku. Aku menikmati narasi-narasi pertarungan di setiap wilayah, tapi kalau sudah ada dialog yang lebih mirip ibu-ibu ngerumpi, rasanya aku sudah tidak sanggup lagi!
TJUKUP NGERUMPINYA! MULAI BERTARUNG!
Fajar Hitam juga menyajikan misteri tak disangka tak diduga yang sebenarnya bikin kepalaku pening, tapi aku berusaha ikut saja supaya semua masuk akal. Seperti mayat Alexis yang ternyata palsu, juga berarti kematian palsu. Vordac sebenarnya hanya umpan dari entitas yang jauh lebih dahsyat alias Dewi Akhir Zaman, meskipun entitas maha dahsyat tersebut dikalahkan dalam beberapa halaman sahaja.
Big reveal tentang siapa Pewaris Vordac pun tidak terlalu mengejutkan, tapi masuk akal dan tidak maksa. Terkadang demi membuat pembaca terkejut, penulis seenak udel aja bikin twist tiba-tiba berkah seperti yang dilakukan novel Bookaholic. Segala tukang kebun jadi twist, kucing tetangga jadi twist, abang ojek yang cuma cameo dijadiin twist. Lempar saja aku ke rawa-rawa!
Namun, di novel ini building di awal dan akhir sepadan sehingga rasa penasaran pembaca terbayarkan, meskipun efek kejutnya tidak terlalu wah-wah. Itu nilai plus juga untuk novel penutup seri. Kalau sewaktu-waktu membaca ulang, tanggapan kita pada satu tokoh itu tidak akan sama lagi gitu loh.
Ending novel ini pun memuaskan, memang bukan yang sampai terkenang sepanjang masa, tapi setidaknya pembaca tidak akan protes. Seperti novel buatanku, ending seperti ini aku sebut Fair Ending. Musuh dikalahkan, huru-hara terselesaikan, kesimpulan didapatkan, tujuan para tokoh pun terpenuhi. Walaupun aku bingung kenapa di epilog sudut pandang harus berpindah ke Jenna dengan memakai POV1.
Kesimpulannya sih, aku puas sama novel terakhir serial ini. Perasaanku lega, tidak ada pertanyaan-pertanyaan atau HAH!? momen. Itu artinya novel ini berhasil sebagai penutup sebuah serial, setidaknya menurut pendapat pribadiku. Beberapa keluhan masih tetap ada, dan masih berputar pada style RPG yang diusung penulis.
Namun, di sini keluhan-keluhan tersebut terbayarkan dengan adegan epik sehingga aku sebagai pembaca non-RPG-ers tidak terlalu kesal. Ditambah novel terakhir yang benar-benar menjadi penutup sebuah kisah adalah nilai plus-plus dariku untuk Bapack Penulis. Itu artinya belio sudah punya rencana matang sejak awal dan berdedikasi mencapai rencana tersebut.
Oh, perubahan sifat Robert saat akhirnya jadian dengan Carol sebenarnya bikin aku rada tidak nyaman. Kayak terlalu mendadak dan drastis. Tapi eh tetapi mereka UwU juga sebagai pasangan, lagi pula hint-hint kalau mereka akan jadi pasangan sudah terbangun sejak jauh-jauh hari. Aku tidak akan protes lebih banyak.
MUNGKIN SATU HAL ... Di satu kesempatan penulis membuat penjabaran kemistri Robert dan Carol seperti ini, “Gadis itu mengalirkan pasokan energi dan tersenyum dengan cara yang sama dengan Robert, seolah-olah mereka itu berwajah mirip atau bersaudara kandung.”
Yeah ... membuat pararel antara pasangan romantis dengan saudara kandung tampaknya bukan keputusan bagus, ‘kan Pacc Penulis? You make this sound weird, c’mon!
Chris. Sebenarnya aku masih heran kenapa menjadi Sage membuat Chris berubah sifat drastis. Ya ... itu bisa saja terjadi, tapi perubahan sikap Chris di sini kadang sangat lebay, seolah dia jadi tokoh bipolar atau semacamnya. Memang ada saat-saat di mana sisi konyol dan bodoh Chris keluar, tapi sekali lagi kayak bipolar. Perubahan yang bulak-balik-bulak-balik tanpa ada refleksi dari sifat terdahulu atau kedewasaan.
Di satu kesempatan penulis membuat Chris jadi drama king yang mewek, merana, dan pingsan gara-gara Eloise diculik Laskar Gelap. Bukan berarti aku ingin Chris jadi trope Stronk Men don’t Cry, tapi reaksi dia di sini benar-benar bukan seperti dirinya sendiri. Ditambah penulis harus membuat deskripsi seperti ini ....
“Reaksi yang wajar dan manusiawi dari seorang suami saat istrinya dalam bahaya ini meyakinkan Rael bahwa Sage telah kembali jadi dirinya sendiri yang semula ....”
Deskripsi yang terang-terangan menjustifikasi seperti itu menurutku poin minus. Fakta bahwa penulis harus membuat alasan secara gamlang, karena memang reaksi Chris yang merana leby begitu tidak cocok dengan penokohannya sepanjang cerita dari novel pertama sampai sekarang. Ujungnya malah Out of Character.
Carolyn. Aku suka peran Carol di sini, juga andilnya dalam perang. Apa lagi ada adegan mendebarkan saat Carol dinyatakan meninggoy, tapi boong! Aku sempet syok juga saat membaca adegan itu. Tapi eh tetapi cara Carol hidup lagi sangat kurang greget, dia cuma dinyatakan meninggoy selama lima detik terus hidup lagi (bruuh).
Setidaknya buatlah adegan kematian itu lebih lama, biarkan para tokoh dan pembaca sedih agak lama supaya kejadian itu memorable, serta efek hidup kembalinya bisa lebih mengaggumkan. Lah, ini ... Carol dinyatakan meninggoy, literally lima detik kemudian, “Robert Zeyenk, aku hidup lagi berkat kalung warisan dewa ini.” Get out!
Rael. Aku percaya kalau Rael adalah elf yang disucikan, dari tingkah lakunya sepanjang cerita. Dialog-dialog dan keputusan Rael juga kelihatan paling lembut dan bijak di antara tokoh lain. Ada juga momen saat dia marah, tanpa disangka tanpa diduga marahnya Rael mengejoetkan sekali. Mungkin aku cuma senang melihat ras Elf yang tidak dinistakan seperti serial sebelah (bandingin teroooss).
Alexis. Media nge-prank pembaca buatan penulis. Sebenarnya aku masih tidak mengerti kenapa jasad Alexis bisa dipalsukan, dan kenapa pula rekasi Chris tidak sesuai kepribadiannya saat mengetahui fakta tersebut. Motifasi asli Alexis juga bikin kepalaku pusing-puyeng-pening. Dia itu sebenarnya jahat atau baik?
Aku pikir untuk menjadi pewaris Vordac katakanlah dia harus murni jahat dari hati, tapi ternyata Vordac cuma butuh raga manusia doang, lalu Alexis minta maaf atas segala perbuatannya saat mau meninggoy, yang berarti dia tidak termasuk jahat murni. Kalau begitu kenapa pula kudu raga Alexis secara spesifik? Apa kriteria jadi Pewaris Vordac sebenarnya!?
Iris. Dia jadi agak melempem di sini, atau cuma perasaanku saja. Padahal aku mengharapkan konflik internal Iris tentang Chris yang sempat jadi pujaan hatinya. Tapi ... masalah itu sepertinya tidak diungkit-ungkit lagi sampai akhir. Penulis malah membuat hint-hint kalau Iris bakal ada hubungan khusus dengan Rael. Aku tidak mau berspekulasi lebih jauh.
Kubu Terang. Ksatria Cahaya plus kroco lain yang namanya tidak mampu aku jabarkan satu-satu. Mungkin ada beberapa yang nempel di otak seperti Sheena, Kyflyn, Vera, Desmond, Hernan.
Kubu Gelap. Ngaku Raja-Ratu Hantu, Raja-Ratu Iblis, Raja-Ratu Monster, tapi perilaku mereka tidak satu pun menunjukkan demikian. Ditambah mereka-mereka ini sangat hobi spill the tea tentang diri sendiri. Narsis banget! Lagi pula ... kenapa fantasi epik selalu membuat kubu jahat tidak berotak cerdas? Trope klasik I guess ....
Di satu kesempatan penulis membuat satu tokoh memiliki dialog yang khas, tapi selama beberapa saat aku menganggapnya typo, h3h3 ... itu jelas salahku dan bukan kesalahan penulis.
“Dar'gum terperanjat, namun ia terlalu lemah untuk bereaksi cepat. Maut tak terhindarkan lagi. Wajahnya tampak amat terkejut, tak pernah menduga ayah mertuanya bakal membalas kebaikan dan kemurahan hatinya dengan pengkhianatan terendah.”
‘Tak pernah menduga’ katenye ... Padahal SEPANJANG PERTARUNGAN itu si Hagnorj (ayah mertua Dar’gum) terang-terangan bilang berkali-kali, “Guweh benci eluh! Guweh gak peduli apa pun, intinya guweh pengen eluh mati!” dan saat diserang mendadak dari belakang si Dar’gum malah mikir ‘tak pernah menduga’?
Darling ... The brain is not braining! Maksudku, dia memang Orc dan mungkin otaknya tidak secerdas manusia, entahlah.
Sebenarnya bukan hanya itu keluhan dari adegan perebutan kekuasan sepanjang novel. Aku berkali-kali bilang kalau style RPG tidak pernah cocok dengan seleraku, terutama cara para tokoh ngerumpi cantik sepanjang bertarung. Kalau ditotal kayaknya porsi dialog tokoh saat hendak bertarung jauh lebih banyak daripada narasi bertarungnya sendiri.
Sayang beribu sayang, itu masih terjadi di novel ini.
Misalnya di setiap daerah, Ksatria Cahaya pasti melawan semacam Big Boss kecil, dan SEMUA Big Boss di setiap daerah tersebut pasti membuat dialog panjang tentang sejarah mereka atau tujuan mereka menjadi jahat.
Sargathos mendongeng, “Dahulu kala aku memang manusia, tapi setelah ke klinik tong-fang aku pun jadi ebles ....”
Hagnorj curcol, “Anakku mati setelah menikahimu. Dia tidak cocok tinggal di Meikarta, karena udaranya tidak cocok untuk Orc unyu seperti dia. Makanya kao juga harus mati ....”
Iris meng-spill masa lalu Zlvyra. “Eloh jadi begini gegara si Ucup ninggalin eloh, ‘kan? Ngaku deh loh!”
Xylen mengadu, “Aku jadi begini karena cintrong sama Robert. Akulah Felicita yang dulu dipatahkan hatinya oleh Robert lope-lope ....”
Maksudku ... haruskah semua latar belakang musuh di-spill dengan metode Telling dialog begitu?
Bola mataku otomatis berputar setiap kali ada musuh yang spill the tea tentang sejarah atau tujuan mereka. Kesannya kayak out of no where aja gitu. Udah mereka spill the tea, ujung-ujungnya mereka sendiri yang bingung dan bertanyea-tanyea kenapa para Ksatria Cahaya tahu kelemahan mereka.
LAH PAN ELU SENDIRI YANG NGASIH TAU, SEMPAK!!! (Nyeruput baygon)
Sumpah ya, adegan-adegan Telling dan dialog awikwok seperti itu yang membuat style RPG di novel ini (juga secara keseluruhan) terasa aneh di mataku. Aku menikmati narasi-narasi pertarungan di setiap wilayah, tapi kalau sudah ada dialog yang lebih mirip ibu-ibu ngerumpi, rasanya aku sudah tidak sanggup lagi!
TJUKUP NGERUMPINYA! MULAI BERTARUNG!
Fajar Hitam juga menyajikan misteri tak disangka tak diduga yang sebenarnya bikin kepalaku pening, tapi aku berusaha ikut saja supaya semua masuk akal. Seperti mayat Alexis yang ternyata palsu, juga berarti kematian palsu. Vordac sebenarnya hanya umpan dari entitas yang jauh lebih dahsyat alias Dewi Akhir Zaman, meskipun entitas maha dahsyat tersebut dikalahkan dalam beberapa halaman sahaja.
Big reveal tentang siapa Pewaris Vordac pun tidak terlalu mengejutkan, tapi masuk akal dan tidak maksa. Terkadang demi membuat pembaca terkejut, penulis seenak udel aja bikin twist tiba-tiba berkah seperti yang dilakukan novel Bookaholic. Segala tukang kebun jadi twist, kucing tetangga jadi twist, abang ojek yang cuma cameo dijadiin twist. Lempar saja aku ke rawa-rawa!
Namun, di novel ini building di awal dan akhir sepadan sehingga rasa penasaran pembaca terbayarkan, meskipun efek kejutnya tidak terlalu wah-wah. Itu nilai plus juga untuk novel penutup seri. Kalau sewaktu-waktu membaca ulang, tanggapan kita pada satu tokoh itu tidak akan sama lagi gitu loh.
Ending novel ini pun memuaskan, memang bukan yang sampai terkenang sepanjang masa, tapi setidaknya pembaca tidak akan protes. Seperti novel buatanku, ending seperti ini aku sebut Fair Ending. Musuh dikalahkan, huru-hara terselesaikan, kesimpulan didapatkan, tujuan para tokoh pun terpenuhi. Walaupun aku bingung kenapa di epilog sudut pandang harus berpindah ke Jenna dengan memakai POV1.
Kesimpulannya sih, aku puas sama novel terakhir serial ini. Perasaanku lega, tidak ada pertanyaan-pertanyaan atau HAH!? momen. Itu artinya novel ini berhasil sebagai penutup sebuah serial, setidaknya menurut pendapat pribadiku. Beberapa keluhan masih tetap ada, dan masih berputar pada style RPG yang diusung penulis.
Namun, di sini keluhan-keluhan tersebut terbayarkan dengan adegan epik sehingga aku sebagai pembaca non-RPG-ers tidak terlalu kesal. Ditambah novel terakhir yang benar-benar menjadi penutup sebuah kisah adalah nilai plus-plus dariku untuk Bapack Penulis. Itu artinya belio sudah punya rencana matang sejak awal dan berdedikasi mencapai rencana tersebut.
C. Penokohan
Robert. Harus aku katakan berkali-kali, novel ini jauh-jauh-jauh lebih enjoyable karena penulis tidak lagi terlalu mengelu-elukan Robert. Ya ... cuma itu yang novel ini butuhkan untuk jadi bagus. Penulis adil pada tokoh-tokohnya. Terbukti tanpa di elu-elukan aku bisa tahu Robert jago sekaligus Ksatria Cahaya terbaik.Oh, perubahan sifat Robert saat akhirnya jadian dengan Carol sebenarnya bikin aku rada tidak nyaman. Kayak terlalu mendadak dan drastis. Tapi eh tetapi mereka UwU juga sebagai pasangan, lagi pula hint-hint kalau mereka akan jadi pasangan sudah terbangun sejak jauh-jauh hari. Aku tidak akan protes lebih banyak.
MUNGKIN SATU HAL ... Di satu kesempatan penulis membuat penjabaran kemistri Robert dan Carol seperti ini, “Gadis itu mengalirkan pasokan energi dan tersenyum dengan cara yang sama dengan Robert, seolah-olah mereka itu berwajah mirip atau bersaudara kandung.”
Yeah ... membuat pararel antara pasangan romantis dengan saudara kandung tampaknya bukan keputusan bagus, ‘kan Pacc Penulis? You make this sound weird, c’mon!
Chris. Sebenarnya aku masih heran kenapa menjadi Sage membuat Chris berubah sifat drastis. Ya ... itu bisa saja terjadi, tapi perubahan sikap Chris di sini kadang sangat lebay, seolah dia jadi tokoh bipolar atau semacamnya. Memang ada saat-saat di mana sisi konyol dan bodoh Chris keluar, tapi sekali lagi kayak bipolar. Perubahan yang bulak-balik-bulak-balik tanpa ada refleksi dari sifat terdahulu atau kedewasaan.
Di satu kesempatan penulis membuat Chris jadi drama king yang mewek, merana, dan pingsan gara-gara Eloise diculik Laskar Gelap. Bukan berarti aku ingin Chris jadi trope Stronk Men don’t Cry, tapi reaksi dia di sini benar-benar bukan seperti dirinya sendiri. Ditambah penulis harus membuat deskripsi seperti ini ....
“Reaksi yang wajar dan manusiawi dari seorang suami saat istrinya dalam bahaya ini meyakinkan Rael bahwa Sage telah kembali jadi dirinya sendiri yang semula ....”
Deskripsi yang terang-terangan menjustifikasi seperti itu menurutku poin minus. Fakta bahwa penulis harus membuat alasan secara gamlang, karena memang reaksi Chris yang merana leby begitu tidak cocok dengan penokohannya sepanjang cerita dari novel pertama sampai sekarang. Ujungnya malah Out of Character.
Carolyn. Aku suka peran Carol di sini, juga andilnya dalam perang. Apa lagi ada adegan mendebarkan saat Carol dinyatakan meninggoy, tapi boong! Aku sempet syok juga saat membaca adegan itu. Tapi eh tetapi cara Carol hidup lagi sangat kurang greget, dia cuma dinyatakan meninggoy selama lima detik terus hidup lagi (bruuh).
Setidaknya buatlah adegan kematian itu lebih lama, biarkan para tokoh dan pembaca sedih agak lama supaya kejadian itu memorable, serta efek hidup kembalinya bisa lebih mengaggumkan. Lah, ini ... Carol dinyatakan meninggoy, literally lima detik kemudian, “Robert Zeyenk, aku hidup lagi berkat kalung warisan dewa ini.” Get out!
Rael. Aku percaya kalau Rael adalah elf yang disucikan, dari tingkah lakunya sepanjang cerita. Dialog-dialog dan keputusan Rael juga kelihatan paling lembut dan bijak di antara tokoh lain. Ada juga momen saat dia marah, tanpa disangka tanpa diduga marahnya Rael mengejoetkan sekali. Mungkin aku cuma senang melihat ras Elf yang tidak dinistakan seperti serial sebelah (bandingin teroooss).
Alexis. Media nge-prank pembaca buatan penulis. Sebenarnya aku masih tidak mengerti kenapa jasad Alexis bisa dipalsukan, dan kenapa pula rekasi Chris tidak sesuai kepribadiannya saat mengetahui fakta tersebut. Motifasi asli Alexis juga bikin kepalaku pusing-puyeng-pening. Dia itu sebenarnya jahat atau baik?
Aku pikir untuk menjadi pewaris Vordac katakanlah dia harus murni jahat dari hati, tapi ternyata Vordac cuma butuh raga manusia doang, lalu Alexis minta maaf atas segala perbuatannya saat mau meninggoy, yang berarti dia tidak termasuk jahat murni. Kalau begitu kenapa pula kudu raga Alexis secara spesifik? Apa kriteria jadi Pewaris Vordac sebenarnya!?
Iris. Dia jadi agak melempem di sini, atau cuma perasaanku saja. Padahal aku mengharapkan konflik internal Iris tentang Chris yang sempat jadi pujaan hatinya. Tapi ... masalah itu sepertinya tidak diungkit-ungkit lagi sampai akhir. Penulis malah membuat hint-hint kalau Iris bakal ada hubungan khusus dengan Rael. Aku tidak mau berspekulasi lebih jauh.
Kubu Terang. Ksatria Cahaya plus kroco lain yang namanya tidak mampu aku jabarkan satu-satu. Mungkin ada beberapa yang nempel di otak seperti Sheena, Kyflyn, Vera, Desmond, Hernan.
Kubu Gelap. Ngaku Raja-Ratu Hantu, Raja-Ratu Iblis, Raja-Ratu Monster, tapi perilaku mereka tidak satu pun menunjukkan demikian. Ditambah mereka-mereka ini sangat hobi spill the tea tentang diri sendiri. Narsis banget! Lagi pula ... kenapa fantasi epik selalu membuat kubu jahat tidak berotak cerdas? Trope klasik I guess ....
D. Dialog.
Haruskah kita membahas ini lagi? Singkat saja ... dialog khas RPG bukan seleraku, dan segmen Dialog dari review serial Ksatria Cahaya akan selalu berisi misuh-misuh. Maksudku, KENAPA MEREKA SELALU NGERUMPI SAAT BERTARUNG!Di satu kesempatan penulis membuat satu tokoh memiliki dialog yang khas, tapi selama beberapa saat aku menganggapnya typo, h3h3 ... itu jelas salahku dan bukan kesalahan penulis.
Tapi eh tetapi, kalau yang berikutnya ini memang kesalahan penulis! Cara tertawa Zalvyra kenapa lebay begitu, dah?
Segala “Gyahaha!”, “Gwehehe!”, “Whuhuihuihi!”, “Hwohahawhaw!”, “Awokwikwokwiko!”. Baiklah, yang terakhir itu ciptaanku sendiri. Tapi tolong!!! Tidak bisakah model-model tertawa brekele itu dideskripsikan saja???
Segala “Gyahaha!”, “Gwehehe!”, “Whuhuihuihi!”, “Hwohahawhaw!”, “Awokwikwokwiko!”. Baiklah, yang terakhir itu ciptaanku sendiri. Tapi tolong!!! Tidak bisakah model-model tertawa brekele itu dideskripsikan saja???
Atau ... atau ... ekhem, aku tidak bisa memberi saran berfaedah untuk ini to be honest, karena segala model tertawa ala RPG selalu membuatku CRINGE! Sama halnya seperti “Fufufu!” sebab aku tidak pernah menemukan satu makhluk pun di dunia yang tertawanya begitu sehingga tidak bisa membayangkannya di kepala!!!
Aku bahkan meniru suara-suara tertawa di atas secara lantang dan berakhir pintu kamar digedor emak, akibat belio pikir anak perempuannya kesurupan kuyang atau malah keseleg biji kedondong!
Kembali lagi ... ini masalah selera. Beberapa orang pasti tidak mempermasalahkan hal tersebut, dan berpikir aku hanya mencari-cari keburukan dari novel ini. Percayalah aku bukannya mencari-cari keburukan, tapi benar-benar sangat terganggu dan aku ingin menyampaikannya.
Mungkin karena kiblatku lebih ke literasi barat sementara RPG lebih menjurus ke timur. Dan teman-teman terdekatku di pesbuk maupun dunia nyata tahu persis apa pendapatku tentang literasi timur.
Marilah jangan kita perpanjang masalah timur dan barat ini ....
Selain hal-hal spesifik di atas aku tidak terlalu mempermasalahkan dialog-dialog dalam novel ini. Dialog kesukaanku masih dialog Rael, melihat betapa halus nan lembut vibe yang dia timbulkan setiap kali berdialog. Mengingatkanku pada Elrond, dan itu jelas nilai lebih.
More Telling than Showing, lebih parah lagi terkadang penjabaran itu lengkap dalam dialog. Bahkan ada narasi panjang yang menjabarkan pertarugan sengit antar iblis dan malaikat. Um ... padahal kalau dikasih adegannya pembaca akan lebih senang, bukan?
Pembuatan Deskripsi yang bias. Deskripsi untuk Kubu Terang selalu penuh pujian, tapi deskripsi untuk Kubu Gelap lebih menjurus ke ejekan. Maksudku, menjadi penulis itu ibarat moderator dalam debat, alias HARUS NETRAL. Seharusnya untuk mendeskripsikan sesuatu tidak boleh ada kecenderungan di satu kubu saja. Apa lagi kalau sudut pandang mengambil orang ketiga serba tahu.
Sistim Magic di sini teh gimana? Aku tidak pernah bisa paham sistem magic serta jurus-jurus dalam novel ini, sebab menurutku penulis terlalu random dalam pemakaiannya. Ditambah penggunaan bahasa indonesia, tapi kadang menggunakan bahasa semodel latin, kadang juga malah gabungan keduanya. Aku bigung apakah lain ras, lain jurus? Atau lain tingkat? Atau lain apa, nih?
Tone pemilihan kata dalam deskripsi bisa berubah drastis sesuai event tertentu. Contohnya sesudah Robert dan Carol menjadi pasangan ... OH MY GOT! Setiap deskripsi yang menyangkut mereka berdua terasa alay bak remaja tahun 70an. Pasti ada pemakaian ‘belahan jiwa’, ‘cinta sejati’, ‘tambatan hati’, dan lain sebagainya. Padahal sebelum jadian nggak begitu-begitu amat.
Ya ... kisah cinca kalian memang UwU harus aku akui, tapi memakai penjabaran norak begitu kesan UwU tersebut malah terkikis. Kalian paham maksudku?
Eksposis dan narasi semacam breaking the fourth wall yang tidak pada tempatnya. Sepertinya aku pernah membahas ini di review Ksatria Cahaya lain. Tapi lupa seri keberapa, h3h3 ....
Typo tersebar di mana-mana
Di samping hal-hal di atas aku suka cara penulis menjabarkan beberapa hal dalam World Building. Terutma tentu saja seluruh adegan bersama Juggernaut, penampilan Noac yang seketika mengingatkanku pada Roh Pencuri Wajah di seri Avatar Aang, juga penjabaran patung-patung yang melambangkan 7 dosa besar manusia. That was awesome!
Beberapa penjabaran jurus juga keren. Aku paling suka jurus yang memakai metode pilar (lupa namanya, ea!). Pokoknya semakin jauh objek yang terkena gelombang serangan, justru semakin sakit hantamannya. Seperti sistem kerja pilar runtuh atau domino gitu ... that was great too.
Plot : 3
Penokohan : 2,5
Dialog : 2
Gaya Bahasa : 2
Total : 3 Bintang (tambahan poin sebagai penutup yang barokah)
BERIKAN TEPUK TANGAN MERIAH UNTUK PENULIS!!!
BERIKAN TEPUK TANGAN MERIAH UNTUK KITA SEMUA!!!
Seperti mimpi rasanya menyelesaikan petualangan dari serial yang termasuk buku-buku bertuah. Perjuangan menyelesaikan seri ini pun berlangsung selama nyaris tiga tahun. Tentu banyak suka dan duka, nyaris menyerah, bahkan nyaris lompat ke rawa-rawa. Namun, menyelesaikan Fajar Hitam seolah membayar semua penderitaan tersebut.
Review novel-novel awal serial ini selalu menjurus ke arah julid. Kejulidan itu datang dari berbagai faktor brekele sekaligus selera, terutama tentang betapa cintanya penulis pada Robert sampai sudah ke tahap ngeselin. Siapa sangka di Fajar Hitam hal itu berkurang drastis bahkan nyaris tidak ada.
Ini adalah bukti pentingnya menyelesaikan satu seri sampai tamat, sebab bisa saja sesuatu berubah di tengah jalan atau bahkan di akhir. Kalau aku tidak menyelesaikan seri ini, pendapatku tentang Robert tidak kan berubah! Maka pandanganku terhadap seri ini akan terasa kurang afdol.
Selain hal-hal spesifik di atas aku tidak terlalu mempermasalahkan dialog-dialog dalam novel ini. Dialog kesukaanku masih dialog Rael, melihat betapa halus nan lembut vibe yang dia timbulkan setiap kali berdialog. Mengingatkanku pada Elrond, dan itu jelas nilai lebih.
E. Gaya Bahasa
Khsus segmen Gaya Bahasa kali ini aku akan menulis beberapa catatan tentang Gaya Bahasa novel Fajar Hitam selama proses membaca berlangsung.More Telling than Showing, lebih parah lagi terkadang penjabaran itu lengkap dalam dialog. Bahkan ada narasi panjang yang menjabarkan pertarugan sengit antar iblis dan malaikat. Um ... padahal kalau dikasih adegannya pembaca akan lebih senang, bukan?
Pembuatan Deskripsi yang bias. Deskripsi untuk Kubu Terang selalu penuh pujian, tapi deskripsi untuk Kubu Gelap lebih menjurus ke ejekan. Maksudku, menjadi penulis itu ibarat moderator dalam debat, alias HARUS NETRAL. Seharusnya untuk mendeskripsikan sesuatu tidak boleh ada kecenderungan di satu kubu saja. Apa lagi kalau sudut pandang mengambil orang ketiga serba tahu.
Sistim Magic di sini teh gimana? Aku tidak pernah bisa paham sistem magic serta jurus-jurus dalam novel ini, sebab menurutku penulis terlalu random dalam pemakaiannya. Ditambah penggunaan bahasa indonesia, tapi kadang menggunakan bahasa semodel latin, kadang juga malah gabungan keduanya. Aku bigung apakah lain ras, lain jurus? Atau lain tingkat? Atau lain apa, nih?
Tone pemilihan kata dalam deskripsi bisa berubah drastis sesuai event tertentu. Contohnya sesudah Robert dan Carol menjadi pasangan ... OH MY GOT! Setiap deskripsi yang menyangkut mereka berdua terasa alay bak remaja tahun 70an. Pasti ada pemakaian ‘belahan jiwa’, ‘cinta sejati’, ‘tambatan hati’, dan lain sebagainya. Padahal sebelum jadian nggak begitu-begitu amat.
Ya ... kisah cinca kalian memang UwU harus aku akui, tapi memakai penjabaran norak begitu kesan UwU tersebut malah terkikis. Kalian paham maksudku?
Eksposis dan narasi semacam breaking the fourth wall yang tidak pada tempatnya. Sepertinya aku pernah membahas ini di review Ksatria Cahaya lain. Tapi lupa seri keberapa, h3h3 ....
Typo tersebar di mana-mana
Di samping hal-hal di atas aku suka cara penulis menjabarkan beberapa hal dalam World Building. Terutma tentu saja seluruh adegan bersama Juggernaut, penampilan Noac yang seketika mengingatkanku pada Roh Pencuri Wajah di seri Avatar Aang, juga penjabaran patung-patung yang melambangkan 7 dosa besar manusia. That was awesome!
Beberapa penjabaran jurus juga keren. Aku paling suka jurus yang memakai metode pilar (lupa namanya, ea!). Pokoknya semakin jauh objek yang terkena gelombang serangan, justru semakin sakit hantamannya. Seperti sistem kerja pilar runtuh atau domino gitu ... that was great too.
F. Penilaian
Cover : 2,5Plot : 3
Penokohan : 2,5
Dialog : 2
Gaya Bahasa : 2
Total : 3 Bintang (tambahan poin sebagai penutup yang barokah)
G. Penutup
SERIAL KSATRIA CAHAYA AKHIRNYA SELESAI!!!BERIKAN TEPUK TANGAN MERIAH UNTUK PENULIS!!!
BERIKAN TEPUK TANGAN MERIAH UNTUK KITA SEMUA!!!
Seperti mimpi rasanya menyelesaikan petualangan dari serial yang termasuk buku-buku bertuah. Perjuangan menyelesaikan seri ini pun berlangsung selama nyaris tiga tahun. Tentu banyak suka dan duka, nyaris menyerah, bahkan nyaris lompat ke rawa-rawa. Namun, menyelesaikan Fajar Hitam seolah membayar semua penderitaan tersebut.
Review novel-novel awal serial ini selalu menjurus ke arah julid. Kejulidan itu datang dari berbagai faktor brekele sekaligus selera, terutama tentang betapa cintanya penulis pada Robert sampai sudah ke tahap ngeselin. Siapa sangka di Fajar Hitam hal itu berkurang drastis bahkan nyaris tidak ada.
Ini adalah bukti pentingnya menyelesaikan satu seri sampai tamat, sebab bisa saja sesuatu berubah di tengah jalan atau bahkan di akhir. Kalau aku tidak menyelesaikan seri ini, pendapatku tentang Robert tidak kan berubah! Maka pandanganku terhadap seri ini akan terasa kurang afdol.
Kalau sekarang boleh jadi ... aku mengategorikan diri sebagai Evernator (Bikin nama fandom sendiri nih, ye ...)
Apakah aku akan menjelajah Terra Evera lebih jauh? Mungkin tidak dulu ... aku tidak sanggup menghadapi RPG lain dalam hidupku untuk sekarang. Namun, bukan berarti tidak akan pernah, ‘kan?
Apakah aku akan menjelajah Terra Evera lebih jauh? Mungkin tidak dulu ... aku tidak sanggup menghadapi RPG lain dalam hidupku untuk sekarang. Namun, bukan berarti tidak akan pernah, ‘kan?
Apa lagi penulis menyarankan untuk membaca karyanya yang berjudul Bitter Sweet Symphony, karena menurut belio aku lebih cocok dengan novel itu.
Kapan-kapan pasti aku baca, Pacc ... sepertinya tersedia di Kwikku (rumah menulisku kini), mungkin akan kutengok barang satu-dua chapter untuk sekarang (Misqueen alert!).
Huge shout out untuk Bapak Andry Chang sebagai penulis serial Ksatria Cahaya sekaligus pencipta Dunia Everna yang sangat luas dan rumit dan terperinci ini. Butuh dedikasi tinggi serta ketekunan untuk membuat dunia sedetail itu, percayalah! Aku pernah coba melakukannya dan gagal (bruuh).
Nah, satu bisul sudah pecah. Bisul mana lagi yang harus kuselesaikan? Jujur saja aku lebih tertarik untuk rebahan sekarang ini!
Sampai jumpa di review selanjutnya ^o^/
(Semapor canggih? Well ....)
(Bajak Laut punya tetua agung dan kode etik??? Aku pikir orang-orang menjadi Bajak Laut memang untuk menghindari kode etik dalam lingkungan bermasyarakat. Ekhem ... ini bukan dunia kita, ingat!)
(Seluruh plot kisah cinca Sheena dan Ish’kandr agak kurang sreg buatku. Aku tidak ingat ada building antara mereka di novel-novel sebelumnya. Bisa jadi aku yang lupa sih, jadi ... mari kita tidak usah bahas lebih jauh!)
(Bab dinamai Bentrok Antar Bijak, tapi bijak yang ditonjolkan cuma dari sisi Rael sementara lawannya dibikin arogan dan tidak bijak. Ini juga contoh kekurangan penulis yang bias dalam membuat deskripsi. Selalu tokoh-tokoh kesukaan belio yang dielu-elukan, sementara tokoh lain dijatuhkan demi tokoh kesukaannya terlihat superior.)
Tunggu, apa-apaan ini? Apa mereka bermaksud ingin beristirahat dan berekreasi sejenak di tempat dengan pemandangan indah, padahal semua rekan lainnya sedang bekerja keras siang-malam untuk mempercepat persiapan perang?
(Ini dia yang kumaksud eksposisi dan/atau breaking the fourth wall tidak pada tempatnya. GAK USAH DIDIKTE JUGA KALEE!!!)
"Ada lagi yang inginn kausampaikann?"
(Ciri khas dialog salah satu tokoh yang kuanggap typo, xixixi ....)
Kedua petarung itu terdiam sementara, hanya bertukar serangan saja.
(Sejak awal pun harusnya kelean bertukar serangan, kagak usah kebanyakan rumpi!!! Kalean lagi bertarung, bukan debat capres!!!)
Kapan-kapan pasti aku baca, Pacc ... sepertinya tersedia di Kwikku (rumah menulisku kini), mungkin akan kutengok barang satu-dua chapter untuk sekarang (Misqueen alert!).
Huge shout out untuk Bapak Andry Chang sebagai penulis serial Ksatria Cahaya sekaligus pencipta Dunia Everna yang sangat luas dan rumit dan terperinci ini. Butuh dedikasi tinggi serta ketekunan untuk membuat dunia sedetail itu, percayalah! Aku pernah coba melakukannya dan gagal (bruuh).
Nah, satu bisul sudah pecah. Bisul mana lagi yang harus kuselesaikan? Jujur saja aku lebih tertarik untuk rebahan sekarang ini!
Sampai jumpa di review selanjutnya ^o^/
Catatan-catatan Tambahan
Menggunakan cara canggih yaitu lewat bendera-bendera isyarat, perintah itu menyebar ke seluruh armada tanpa bisa ditebak musuh.(Semapor canggih? Well ....)
(Bajak Laut punya tetua agung dan kode etik??? Aku pikir orang-orang menjadi Bajak Laut memang untuk menghindari kode etik dalam lingkungan bermasyarakat. Ekhem ... ini bukan dunia kita, ingat!)
(Seluruh plot kisah cinca Sheena dan Ish’kandr agak kurang sreg buatku. Aku tidak ingat ada building antara mereka di novel-novel sebelumnya. Bisa jadi aku yang lupa sih, jadi ... mari kita tidak usah bahas lebih jauh!)
(Bab dinamai Bentrok Antar Bijak, tapi bijak yang ditonjolkan cuma dari sisi Rael sementara lawannya dibikin arogan dan tidak bijak. Ini juga contoh kekurangan penulis yang bias dalam membuat deskripsi. Selalu tokoh-tokoh kesukaan belio yang dielu-elukan, sementara tokoh lain dijatuhkan demi tokoh kesukaannya terlihat superior.)
Tunggu, apa-apaan ini? Apa mereka bermaksud ingin beristirahat dan berekreasi sejenak di tempat dengan pemandangan indah, padahal semua rekan lainnya sedang bekerja keras siang-malam untuk mempercepat persiapan perang?
(Ini dia yang kumaksud eksposisi dan/atau breaking the fourth wall tidak pada tempatnya. GAK USAH DIDIKTE JUGA KALEE!!!)
"Ada lagi yang inginn kausampaikann?"
(Ciri khas dialog salah satu tokoh yang kuanggap typo, xixixi ....)
Kedua petarung itu terdiam sementara, hanya bertukar serangan saja.
(Sejak awal pun harusnya kelean bertukar serangan, kagak usah kebanyakan rumpi!!! Kalean lagi bertarung, bukan debat capres!!!)
(He looks like a sweet Orc, yekan? Tapi ternyata dia jahat ToT Nice OOTD tho ....) |
Tertawa "fufufu" itu sebenarnya onotome tertawa yang sering dipakai di novel novel pop dari Jepang seperti manga (komik) atau light novel. Jadi karena mbak mungkin belum pernah menikmati karya dari Jepang tentu saja mbak merasa aneh
ReplyDeleteNah itu dia :')
DeleteSebenernya sih kayak 'wkwkwk' di sini aja kali ya. Bagi orang luar (misalnya orang Mars) itu pasti kedengeran aneh.