Baik Adalah Benar, tapi Jahat Lebih Menggoda


Sinopsis The Boy (Mengandung SPOILER!)

Jadi begini, Pembaca Budiman ... Belum lama ini aku menonton ulang film The Boy 2016, sebab aku berencana ingin menonton film keduanya (Bhrams ; The Boy II). YA, INI BUKAN KONTEN REVIEW, TAPI INI RUMAHKU JADI AKU BEBAS MEMUBLIKASI APA SAJA!!!

Ekhem, maaf sudah berteriak, Zeyenk ... hanya saja menonton film tampaknya lebih mudah daripada membaca novel belakangan ini. Aku janji, bulan depan semua akan berubah, kita akan julid, dan review, dan julid, dan memberi tips, dan julid, dan lain sebagainya.

NAH!!!

The Boy bercerita tentang Greta, seorang wanita tanggung yang jauh-jauh datang dari Amerika ke Inggris demi menjadi pengasuh anak untuk keluarga Heelshire yang kaya raya, sekaligus kabur dari mantan pacarnya yang abusive. Ternyata eh ternyata, anak yang akan Greta asuh hanyalah boneka porselen.

Boneka itu bernama Brahms seperti nama anak Tuan dan Nyonya Heelshire yang sudah meninggal di usia delapan akibat kebarakan hebat di mansion mereka. Tuan dan Nyonya Heelshire mengurus boneka Brahms selayaknya anak sungguhan selama 20 tahun, dan mereka sudah MUAQ dengan perasaan gagal mup-on tersebut.

Akhirnya mereka memutuskan untuk liburan jangka panjang (alias selamanya). Itu sebabnya mereka membutuhkan pengasuh anak untuk Brahms. Maka itulah tugas Greta. Seperti yang sudah kita semua duga, mansion super besar, kuno, dan minim lampu itu pun mulai menunjukkan tanda-tanda awikwok kepada Greta.

Pertama sepatu hilang, lalu pakaian raib satu per satu, perhiasan dimaling, rambut digunting, rasanya seperti ada yang mengawasi setiap saat. Anehnya, kejanggalan itu selalu berkaitan dengan boneka Brahms. Untungnya, ada pengantar barang bernama Malcolm yang datang seminggu sekali ke mansion itu sehingga Greta tidak benar-benar sendirian, alias bisa rumpi tentang masalahnya di mansion.

Sayang beribu sayang, Malcolm malah merasa otak Greta agak miring. Apa lagi Greta spill the tea bahwa dia pernah kehilangan anak, dan dia merasa terikat pada Brahms untuk beberapa alasan. Awalnya Greta takut pada Brahms, tapi dia memilih untuk meladeni kemauan boneka itu, alias mengurusnya seperti yang biasa Tuan dan Nyonya Heelshire lakukan.

Di saat semua sudah berjalan agak lancar di mansion, mantan pacar abusive Greta (Cole) malah datang menjemputnya. Merayu dengan janji-janji manis bahwa ia akan berubah. Greta tentu saja tidak percaya, tapi dia tahu Cole akan murka kalau dia tidak menurut. Maka Greta minta tolong pada Brahms untuk mengusirnya.

Alih-alih takut dan kabur dengan semua pertanda awikwok yang diberikan Brahms, si Cole malah sensi, mengira Greta-lah yang melakukan semua itu. Pertengkaran pun terjadi, berujung Cole menghancurkan boneka Brahms berkeping-keping. Setelah itu barulah ... hal yang membuatku ketar-ketir terjadi.

Saat itu juga, kaca dinding pecah menimbulkan lubang cukup besar. Dari lubang itu, Brahms asli berwujud manusia pun muncul, dan dia terlihat sangat HOT-HOT-HOT. Maksudku ... dia terlihat marah. Dia langsung jebrat-jebret si Cole. Jebrat-jebret Malcolm. Dan berusaha jebrat-jebret Greta.

But NOOOO ... Brahms jadi anak penurut di depan Greta (tentu saja). Greta berjanji akan tinggal bersamanya selamanya, kalau dia membiarkan Malcolm pergi. Brahms pun setuju, maka Greta menyuruh Brahms tidur seperti biasa.

Namun, Greta bukan aku, bukan juga fangirl tak ada otak lain yang pastinya akan menuruti kemauan Brahms, dan hidup bahagia selamanya di dalam mansion, menjadi Tuan dan Nyonya Heelshire yang baru. NO, NO, NO, NO ... Greta tentu saja membvnvh Brahms, karena dia adalah SIKOPET, lantas kabur bersama Malcolm yang sekarat.

TAMAT ... or is it?

Kepincut Sikopet Bertopeng (Lagi)

Reaksiku saat menonton adegan Brahms muncul dari tembok adalah ... "Bjirr, capek-capek mengimbau anak unyu di Watpat untuk tidak fangirling pada sikopet. Tapi Holiwut memutuskan untuk membuat tiap sikopet berwujud HOT-HOT-HOT!!!"

Brahms being a good boy, because of course he is (digampar)

Atau mungkin ini hanya aku dan ketertarikanku yang tidak normal? Jadi begini ... I'm a simple gorl, aku melihat cowow memakai topeng, maka rahimku anget (bahkan menulis ini membuatku cringe). Aku jadi merasa hipokrit sebagai pengejek cerita sikopet Watpat, sebab diam-diam aku juga suka berimajinasi tentang hal-hal demikian!!!

Maksudku ... bukan cuma aku orang di dunia ini yang fangirling pada sikopet, dan aku jadi penasaran kenapa bisa demikian? Kita tahu itu salah, kita tahu perilaku mereka buruk. Tapi kenapa? Akui saja, kita mungkin tidak bilang terang-terangan, tapi sikopet atau katakanlah Villain, selalu punya kharisma sendiri untuk disukai.

"Ya iyalah!!! Sikopet dan Villain gud luking doang yang disukai, yang jelek mah kagak!"

Em, NO ... percayalah, tiap serial killer, tiap Villain, punya fandom sendiri tidak peduli laki-laki atau perempuan, tidak peduli bentuk tubuh, warna kulit, atau apa pun. Terdengar tidak waras dan brekele (karena itu memang benar), tapi toh tetap ada. Fenomena menyukai orang 'jahat' yang bukan fiksi pun kerap terjadi di dunia nyata.

Banyak orang berkata. "Kamu terlalu baiq buat aqu". Banyak pasangan bertahan saat jelas-jelas salah satu dari mereka suka berperilaku kasar. Perempuan punya pacar 'good', mereka akan cepat bosan dan mencari yang lebih menantang. Laki-laki punya pacar 'good', mereka akan cepat bosan dan mencari yang bisa diajak nachkal.

Itu salah, itu bodoh, itu tidak sehat. Tapi kenapa diam-diam kita mendambakan 'kejahatan' dalam hidup ini? Bukan berarti aku mengasumsikan fenomena ini untuk seluruh orang di dunia, tapi melihat statistik, melihat lapangan, sebagian besar orang lebih menyukai Villain daripada tokoh lain. Kenapa?

Kenapa Oh Mengapa (Menurut Psikolog dan Menurut Pribadi)

Villain Lebih Relateable

Tokoh baik kadang bisa jadi sangat mustahil ada di dunia nyata. Katakanlah Superman atau Spider-Man yang selalu siap menyelamatkan umat manusia 24/7. Bahkan sampai memakai kostum pahlawan di balik pakaian biasa. Selalu waspada, harus menolong setiap orang yang kesusahan, mengalahkan musuh, memberantas kejahatan.

Itu semua perilaku terpuji, tapi pertanyaannya siapa yang punya waktu untuk itu semua? Ada masa di mana kita ingin santai, menjadi egois, berbohong, tidak peduli pada apa pun, fokus pada hal yang hanya kita inginkan. Yang mana semua sifat itu biasanya ada di Villain. Jadi saat tokoh jahat malah lebih Guweh Banget, apa selama ini kita membuat kesalahan?

Villain Lebih Misterius

Coba kalian pikir, pernahkah kita peduli pada tokoh baik atau orang baik. Maksudku ... saat melihat orang berperilaku terpuji kita lebih akan bersyukur akan kehadirannya, dan berharap lebih banyak orang seperti dia. Kita cenderung tidak peduli apa yang membuat perilakunya baik, sebab perilaku baik adalah benar, dan benar tidak perlu penjelasan.

Nah, berbanding terbalik dengan tokoh jahat. Kita pasti penasaran kenapa dia bisa sejahat itu? Kenapa dia melakukan hal-hal jahat? Apakah dia tidak punya simpati dan empati? Apakah dia pernah menyesal? Nah, dari situ kita mulai mencari tentangnya, supaya kita bisa mengerti jalan pikir yang jahat itu.

Akibatnya, kita jadi lebih mengenal si jahat daripada si baik. Kita mungkin bersimpati padanya, atau kesal padanya, atau mengutuknya. Apa pun rekasi yang kita keluarkan, apa pun pendapat kita, pada akhirnya kita sudah mengenal dan memahami si jahat.

Villian Bisa Melakukan Hal-hal yang Tidak Bisa Orang Normal Lakukan

Di dunia ini kita hidup berdasarkan peraturan, demi kepentingan bersama, keadilan, dan lain-lain. Tanpa peraturan dunia akan kacau, itu jelas. Namun, kita juga pasti pernah merasa kesal pada seseorang, saking kesalnya sampai kita ingin memukulnya, tapi tidak bisa sebab itu akan melanggar peraturan.

Atau kita sangat butuh uang, dan mungkin masalah akan selesai kalau kita masuk ke bank dan mengambil semua uang di sana. Oh, tapi itu mustahil sebab itu perilaku buruk yang melanggar peraturan. Nah ... Villian bisa melakukan itu semua, karena mereka tidak peduli pada peraturan. Mereka terlalu egois untuk memikirkan orang lain.

Maka dari para Villian-lah kita berfantasi melakukan hal-hal demikian. Segala hal melanggar peraturan yang tidak akan pernah kita lakukan sendiri. Mungkin itulah yang membuat kita menyukai Villian.

Villian Tak Tertebak

Aku akan memberi contoh khusus dari film The Boy, terutama perbedaan Malcolm dan Brahms untuk baik dan jahat. Tujuan Malcolm di situ sudah jelas, dia menjaga Greta, dia akan melakukan segala cara untuk menyelamatkan Greta bahkan sampai melukai dirinya sendiri, sebab dialah 'si baik'. Dia memikirkan orang lain sebelum diri sendiri.

Nah, sementara Brahms, dia jelas peduli pada Greta tapi peduli ke arah obsesi. Dia jadi anak baik di depan Greta, tapi tak segan menyakiti kalau kemauannya tidak dituruti. Satu detik dia penurut, detik berikutnya dia melempar Greta ke tembok, bahkan mencekiknya sampai mau modar.

Ya, Brahms berperilaku begitu karena dia kecewa dan tersakity, tapi yang jelas Malcolm tidak akan berbuat begitu meskipun Greta mengecewakan atau menyakitinya berkali-kali. Sekali lagi, itu karena Villain tak tertebak, berbeda dengan tokoh baik yang tujuannya sudah jelas, alias berbuat baik.

Kita Semua Sejatinya Punya Sisi Masokis 👁️👄👁️

Aku ... rasanya ini tidak perlu dijelaskan.

Pada akhirnya semua ini kembali ke diri sendiri. Maksudku ... di setiap film bertema sikopet yang aku tonton, tidak satu pun korban menyukai atau terpikat pada si sikopet. Para korban pasti digambarkan ketakutan, berusaha kabur, menderita, depresi, dan hal buruk lain. Sebenarnya, film-film itu sudah cukup baik menggambarkan betapa bahaya para sikopet ini.

TAPI KENAPA KITA PARA PENONTON MALAH DEMEN!!!

Kalau aku perhatikan, cerita yang menggembar-gemborkan sikopet memiliki satu kesamaan. Si sikopet pasti bersikap sweet, perhatian, posesif, dan UwU pada orang yang dia sukai. Sedangkan untuk musuh atau orang asing, si sikopet main asal jebrat-jebret aja. Pada akhirnya kita hanya menyukai si sikopet saat dia bersikap 'baik' pada kita.

Mungkin, sebenarnya kita tidak menyukai villian, atau sikopet, atau serial killer. Kita hanya menyukai orang baik yang bisa nachkal saat diperlukan iykwim ( ͡° ͜ʖ ͡°)

Penutup

Ya, ya , ya ... aku tahu postingan ini lebih mengarah ke sisi unfaedah daripada berfaedah. Namun, fenomena menyukai 'tokoh jahat' sebenarnya sudah lama mengganggu pikiranku, jadi sekalian saja aku bikin pembahasan khususnya di blog. Toh, ada nyerempet ke review film The Boy dikit kan, h3h3 ....

Seperti janjiku, bulan depan aku akan mulai aktif membuat review lagi. Aku sudah memasukkan beberapa buku incaran ke dalam keranjang syopi, dan salah satu di antara buku-buku itu pasti membuat kalian tercengang.

Nah, segitu dulu pembahasan kali ini/ Apakah kalian punya Villian favorit? Ataukah kalian adalah orang langka yang hanya menyukai orang-orang baik, eyuuuh.

Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya ^o^/

Comments

Impy's all-time-fav book montage

The School for Good and Evil
A World Without Princes
The Last Ever After
Quests for Glory
House of Secrets
Battle of the Beasts
Clash of the Worlds
Peter Pan
A Man Called Ove
My Grandmother Asked Me to Tell You She's Sorry
The Book of Lost Things
The Fairy-Tale Detectives
The Unusual Suspects
The Problem Child
Once Upon a Crime
Tales From the Hood
The Everafter War
The Inside Story
The Council of Mirrors
And Every Morning the Way Home Gets Longer and Longer


Impy Island's favorite books »

Baca Review Lainnya!

Ily

Laut Bercerita

Aku Menyerah pada Serial Omen-nya Lexie Xu

Novel-novel Terkutuk (Mostly Watpat)

Matahari Minor

Mbah Rick Riordan Melanggar Semua Pakem dalam menulis POV1 (dan Tetap Bagus)

Sky Academy