Pride & Prejudice



Judul : Pride & Prejudice

Penulis : Jane Austen

Penerbit : Qanita

Tahun Terbit : 1813 (Pertama), 2015 (Versi ini)

ISBN : 9786027870840

Tebal :588

Blurb :

Elizabeth Bennet dan Fitzwilliam Darcy sama sekali tidak cocok. Elizabeth menilai Mr. Darcy sebagai pria yang sok, angkuh, dan mengesalkan, sementara Mr. Darcy menganggap Elizabeth tidak anggun dan terlalu sering berprasangka.

Mereka saling bermusuhan, bahkan sering kali saling melontarkan sindiran pedas. Tapi kebencian mereka berangsur menjadi ketertarikan. Seiring berjalannya waktu, Elizabeth melihat sisi lain Fitzwilliam Darcy, bahwa dia bukanlah sekadar pria arogan seperti yang selama ini dia sangka.

Dalam Pride and Prejudice, Jane Austen menuangkan detail yang memikat tentang kisah kaum menengah ke atas pada abad ke-19. Kisah dan karakternya yang memukau membuat novel ini menjadi salah satu roman paling populer dan dicinta sepanjang masa.
MENGANDUNG SPOILER!!!

A. Bangkit dari Kubur

Hellow Pembaca Budiman, bagaimana kabar kalian hari ini?

"Anda siapa wahai orang asing yang baru pertama kali kulihat?"

Janganlah sejahat itu menyindirku kerana sudah mengabaikan kalian berserta rumah review ini selama jutaan tahun. Kalian tidak mengerti kesulitanku! Dan kalian tidak akan pernah mengerti, karena aku tidak akan menceritakannya kepada kalian, h3h3 .... (Ditempeleng).


Belakangan ini, aku dengan atau tanpa sengaja jadi sering membaca novel-novel klasik, jadi marilah kita bicarakan tentang novel klasik yang mempunyai daya tarik tersendiri. Bagiku pribadi membaca novel klasik ibarat menjelajah ke masa lalu tanpa mesin waktu.

Dengan membaca novel klasik, kita bisa melihat betapa pesatnya perkembangan dunia dan manusia mulai dari gaya hidup, budaya, tradisi, ideologi, dan lain sebagainya. Perkembangan yang cenderung positif kalau boleh kubilang. Beberapa mungkin tidak terlalu baik, tapi sebagian besar baik.

Kebanyakan novel klasik terbit di abad 18 atau 19, pada masa itu manusia belum belajar makna toleransi sebanyak orang-orang zaman sekarang. Tentu akan ada normalisasi isu-isu sensitif nan problematik dalam karya klasik. Contohlah di novel Pride and Prejudice ini. Judulnya saja Harga Diri dan Prasangka, tentu akan ada kesenjangan sosial dan stereotipikal tentang derajat manusia tertentu.

Aku hanya berharap bahasa novel ini tidak serumit Hamlet yang secara harfiah tidak satu paragraf pun masuk ke otak indahku, tidak peduli seberapa keras aku mencoba. Namun oh nenamun, Hamlet berbahasa inggris, sementara Pride & Prejudice berbahasa indonesia jadi tidak akan Apple to Strawberry membandingkan mereka.

Tapi sumpah DEMI NEPTUNUS! Aku tidak begok-begok amat bahasa inggris, kenapa oh mengapa Hamlet sangat sulit dipahami?

Ekhem, perihal sampul novel Pride & Prejudice. Jujur aku kurang sukak sampul versi ini. Memberi vibe novel web dengan sampul alakadar, atau biasa kusebut tarik-tempel, seolah aku sendiri yang membuat sampul itu di aplikasi Pixellab pada tahun 2015. BUT!!! Tentunya isi lebih penting dari sampul. Jadi, mari kita mulai membicarakan Pride & Prejudice.

B. Plot

Review bintang satu di Amazon mengatakan "Cuma sekumpulan orang yang saling bertamu ke rumah masing-masing." untuk novel Pride & Prejudice. Sebagai orang yang cuma mendengar betapa masterpice-nya Pride & Prejudice dari mulut ke mulut, aku merasa tidak terima!

Affah iyah, novel klasik melegenda macam Pride & Prejudice cuma tentang orang-orang saling silaturahmi? Maka aku membaca sendiri novel Pride & Prejudice untuk membuktikan hal tersebut! Ternyata eh ternyata ....

EMANG BENER, NGAB!



Gimana ya, secara garis besar novel ini memang cuma berisi orang-orang bersilaturahmi. Keluarga Bennet adalah salah satu keluarga terpandang di sebuah kota kecil, girang bukan kepalang saat mengetahui orang-orang kaya dari kota besar akan menetap di kota mereka. Salah satu dari orang kaya itu bernama Tuan Bingley yang datang bersama teman dan kakaknya.

Tuan Bingley single and very happy, terkenal tamvan, bertutur kata halus, supel, dan tentunya KAYA TUJUH TURUNAN. Ibu dari keluarga Bennet (Nyonya Bennet) menjadi yang paling bersemangat dalam hal ini. Tentu saja, belio punya lima anak perempuan yang juga single and very happy, dan kepingin banget salah satu anaknya berhasil memikat Tuan Bingley.

Bennet bersaudara terdiri dari Jane, Elizabeth (Lizzy), Cathrine (Kitty), Lidya, dan Mary. Nyonya Bennet yakin Jane, yang tertua, paling cantik dan kalem dapat memikat hati Tuan Bingley. Tapi kalau Jane gagal, Lizzy yang agak brekele pun tidak masalah. Kalau Lizzy gagal juga, masih ada Mary. Bahkan Kitty dan Lidya yang masih di bawah umur bisa digaskan!

Bahkan, kalau semua anaknya gagal, Nyonya Bennet rela hamil anak perempuan lagi, dan langsung dikawinkan dengan Tuan Bingley begitu si anak lahir! Serius ... Nih Ibuk-ibuk sangat problematik. Nyonya Bennet punya satu tujuan dalam hidupnya. Yaitu melihat anak-anaknya menikah. Tidak peduli bagaimana pun caranya, tidak peduli siapa pun calonnya, tidak peduli kalau harus melegalkan segala cara.

"Anak-anak guweh kudu nikah, kalaw kagak guweh gagal menjadi ibu, layau!" Begitulah pikir Nyonya Bennet kira-kira. Well, sebenarnya ada alasan untuk sikap Nyonya Bennet seperti itu. Tentu saja kembali lagi ke periode zaman di mana orang-orang serta sistem di dalamnya masih brekele!

Marilah kita beralih dari Nyonya Bennet, karena untung beribu untung, Tuan Bingley sangat jatuh cinca pada Jane. Mereka berdansa semalaman, walaupun Jane masih terlihat jual mahal dan malu-malu onta. Nampaknya rencana Nyonya Bennet menjodohkan Tuan Bingley dan Jane berhasil, dan dia tidak bisa tutup mulut tentang itu!

Di sisi lain, Tuan Darcy lebih pendiam, tipikal cowok introvert yang kelihatan arogan. Dia sama kaya, kalau tidak lebih kaya dari Tuan Bingley, tapi tidak siapa pun mau mendekatinya, sebab dia sombong. Namun, ketika Lizzy menyapa pria itu dengan sifatnya yang ceria, apakah akan ada percikan-percikan cinca di antara mereka?

Kagak, bejir! Mereka malah jadi musuh bebuyutan! Jadi gini ya, Pembaca Budiman ... Tuan Darcy dan Lizzy berasal dari dua orang dengan kesenjangan sosial yang berbeda. Katakanlah si kaya dan si miskin, mereka sulit bersatu, bahkan saling membenci.

Tuan Darcy mungkin orang baik, tapi karena sifatnya keras, sopan-santun tinggi, serta stereotipikal orang-orang kaya pasti arogan dan sombong, ditambah Lizzy sering mendengar kabar buruk tentang Tuan Darcy dari semua orang, walhasil Lizzy berakhir membenci Tuan Darcy setengah mati.

Di lain sisi, Lizzy blak-blakan, cuek, riang, berpendirian kuat sehingga sering dianggap tidak sopan. Ditambah Ibu dan ketiga adiknya sering bertingkah "katrok" stigma Lizzy dan keluarganya jadi buruk. Tuan Darcy menghargai Jane dan Lizzy, tapi melihat keluarganya seperti itu, dia jadi illfeel juga. Meskipun Tuan Darcy tidak membenci Lizzy, dia cuma tidak suka keluarganya.

Kesalahpahaman pun terus terjadi di antara mereka. Mulai dari kakak Tuan Bingley yang julid, Tuan Darcy menjauhkan Tuan Bingley dari Jane, Tuan Watson melamar Lizzy dan ditolak mentah-mentah, sampai Tuan Wickham si muka dua yang membawa kabur Lidya kawin lari.

Sumpah, konflik kawin lari antara Wickham dan Lidya benar-benar membuatku naik darah, tidak satu pun tokoh mendapatkan pelajaran ataupun penyesalan dari kejadian tersebut. Wickham berusia hampir 30 tahun di saat Lidya baru berusia 15 tahun. WHAT THE HEEL IS THIS! Apakah orang-orang di abad 19 tidak memahami batasan usia!

Nyonya Bennet memang sedih saat Wickham dan Lidya kabur, bilang bahwa kejadian itu akan mengotori nama keluarga Bennet. Yap, dia bukan mengkhawatirkan anaknya, tapi mengkhawatirkan nama baik keluarga. Pliss, Nyonya Bennet, jangan buat aku semakin membencimu!

Nah, tapi begitu tahu kalau Tuan Wickham dan Lydia akan menikah, serta hidup enak berkat seseorang (seseorang itu adalah Tuan Darcy), Nyonya Bennet langsung senang bukan kepalang. Tidak memedulikan bahwa banyak sekali kejanggalan dalam pernikahan itu.

Jarak usia terpaut jauh, Lydia masih 15 tahun, Wickham orang problematic, mereka tinggal sangat jauh terpisah dari keluarga. Bagaimana kalau Lydia kenapa-kenapa di sana? Kepada siapa dia minta tolong? Nyonya maupun Tuan Bennet tidak terlalu memikirkan itu. Well, sebenarnya Tuan Bennet, Lizzy, dan Jane sangat khawatir, tapi tidak bisa berbuat banyak.

Belum lagi Lady De Brough si Lady kaya raya yang prasangkanya terhadap orang-orang menengah ke bawah sangat buruk. Belio benar-benar tidak menyukai keluarga Bennet, terutama Elizabeth yang tidak pernah mau menjilat Lady De Brough sekali pun. Saat tahu Darcy mungkin menyukai Lizzy, dia pun turun tangan untuk menyelesaikan masalah.

Lho, lho, lho ... kenapa tiba-tiba Tuan Darcy menyukai Lizzy? Bukankah mereka saling membenci? Nah, aku rasa itulah yang membuat novel ini jadi masterpiece, mungkin satu-satunya novel yang mengangkat tema benci jadi cinca dengan benar. Tergolong modern pada masanya.

Cara Tuan Darcy dan Lizzy saling membenci pada awalnya, didasari dengan alasan masuk akal. Mereka saling sindir, saling serang dengan tata krama, saling senggol harga diri, tapi tetap bersikap sopan di depan orang lain meskipun sebenarnya mereka sedang perang dingin.

Begitupun saat mereka perlahan saling mencintai. Momennya tepat, alasannya masuk akal, temponya pas. Kita sebagai pembaca dibawa ke setiap percikan-percikan mereka entah saat saling benci atau mulai mencintai, jadi kita ikut mendukung mereka, kita ingin kesalahpahaman mereka terselesaikan secepatnya.

Untuk sekali saja Tuan Darcy dan Lizzy. Bisa kagak sih kelean berhadapan dan ngobrol berdua dengan tenang dan damay, tanpa terlalu mementingkan Harga Diri dan Prasangka, alias Pride and Prejudice! Hey, itu judul novelnya!

Novel ini mungkin membosankan bagi beberapa orang, terutama bagi penyuka aksi atau konflik nendank. Namun, keistimewaan novel ini memang berasal dari tanggapan Jane Austen tentang fenomena sosial di masa itu. Ditambah bumbu-bumbu romansa yang mungkin sebelumnya tidak lumrah atau malah dikecam bagi kebanyakan masyarakat.

Membaca Pride and Prejudice boleh juga jadi bahan bersyukur. Terutama aku yang bersyukur alhamdulilah tidak hidup di zaman ini. Di mana menyapa orang terlebih dahulu, bertamu setiap hari, berpesta secara rutin, memimpin percakapan, mengajak orang berdansa adalah sebuah keharusan agar tidak dianggap freak!

ITU NERAKA SEORANG INTROVERT! Aku membayangkan diriku kalau hidup di zaman novel Pride and Prejudice, barangkali jasadku sudah menjadi abu, lantas dibuang di sebuah hutan atau laut entah di mana. Lets be real .... BURN THE WITCH!!!

But at last ... Aku yakin novel ini sangat kontroversial pada zamannya, terutama tokoh Lizzy yang tidak pernah takut berpendapat, padahal di zaman itu kebebasan berpendapat bagi wanita hampir tidak ada. We've come along way, and Pride & Prejudice is the proof of that. Jadi aku bisa katakan, novel ini pantas mendapatkan segala predikat baik yang menempel padanya.

C. Penokohan

Elizabeth (Lizzy). Seperti Layaknya Jo dalam novel Little Women, Lizzy berbeda dari keluarganya dalam urusan pola pikir. Dia jelas lebih modern, blak-blakan, percaya diri, dan tidak pernah takut berpendapat. Namun, berbeda dari Jo yang tingkahnya juga brutal nan tomboy, Lizzy tetap anggun selayaknya wanita tanggung yang diharapkan pada masanya.

Tapi eh tetapi, begitu mulutnya terbuka sedikit aja untuk berpendapat, makjleb banget ke hate cuy! Lizzy tidak pernah digambarkan tomboy, dia juga tidak pernah terlalu digembar-gembor berbeda dari yang lain. Itu sebabnya dia adalah contoh tokoh Not Like Other Gorl yang tergambar dengan baik.

Jane. Ekhem, ekhem ... Jane Austen menamakan tokoh paling cantik, paling kalem, paling perfek di keluarga Bennet dengan namanya sendiri. Apakah ini yang di sebut Self Insert versi klasik? Anyways! Jane bisa dibilang Mary Sue kalau mengingat semua orang menyukainya, sifat baik dan paras cantik, tidak pernah berburuk sangka, serta super-duper sabar. Dia terlihat dan terdengar perfek.

Namun, sebagaimana manusia Jane jelas punya kekurangan. Tepatnya Jane tidak pernah jujur dengan perasaan sendiri, terutama perasaannya terhadap Tuan Bingley. Harga dirinya hampir setinggi Lizzy kalau berurusan dengan cinta, bedanya Jane lebih kalem, berkepala dingin, juga sangat dewasa. Semua itu bisa dilihat sepanjang cerita, bukan cuma penjabaran aja.

Tuan Darcy. Semua orang membencinya, karena dia sombong dan arogan. Tidak mau mengajak siapa pun berdansa, tidak pernah memulai obrolan, dan sangat jarang tersenyum. Penjabaran itu memang terlihat arogan, sampai kita sadar Tuan Darcy cuma SEORANG INTROVERT!!! Dia canggung, tidak pintar basa-basi, dan tidak suka keramaian. Give the man a break!

Walau sebenarnya baik, Tuan Darcy tetap punya prasangka-prasangka buruk seperti yang biasa dimiliki orang kaya terhadap orang miskin. Terlihat dari caranya menilai keluarga Bennet, terutama membuat kesimpulan kalau Jane memperdaya sahabatnya untuk uang, padahal Jane cuma malu-malu onta!

Tapi eh tetapi, Tuan Darcy adalah seorang gentleman ... dia meminta maaf saat dugaannya salah dan rela melakukan apa pun untuk memperbaikinya. Itulah yang membuat Lizzy (dan pembaca wanita lain di dunia) klepek-klepek pada Tuan Darcy di akhir cerita.

Tuan Bingley. Tipikal Good Boy yang dicintai semua orang, tapi agak lola dalam menghadapi dunia nyata. Tuan Bingley supel, berteman dengan siapa saja, bahkan tidak pernah membeda-bedakan seseorang dari status sosialnya. Ini mungkin hoy takes, Tuan Bingley lebih suami-able daripada Tuan Darcy. Just saying.

Also ... para pembaca kepalang terlena dengan konflik Tuan Darcy dan Lizzy yang penuh intrik. Namun, menurutku kisah UwU dan malu-malu onta ala Tuan Bingley dan Jane lebih memikat hati. Aku selalu suka setiap ada adegan mereka. Bahkan menunggu-nunggu saat di mana kesalahpahaman di antara mereka terselesaikan, supaya mereka bisa UwU-UwU-an lagi. Aku jelas ada di Tim Bingley x Jane Shipper!

Tuan Wickham. Tahi banteng, tahi kuda, tahi lalat, tahi semut, muka dua, awikwok, brekele, pidipil, gold digger, penipu, julid, sempak kuda, intinya segala hal jelek yang pernah ada di dunia dalam wujud manusia. Kalau disuruh memilih antara menyelamatkan Voldemort atau Tuan Wickham, tentu saja 1000% aku memilih Voldemort.

Lydia. Look ... dia brekele, tapi dia jelas masih anak-anak, usianya baru 15 tahun. Sifat brekelenya datang dari ajaran orangtua, pengaruh lingkungan, serta sistem di masa itu yang memang problematik. Lydia tidak melihat ada kesalahan dari pernikahannya dengan Tuan Wickham. Dia malah merasa bangga! Memamerkan pernikahan itu pada semua orang di kota.

Itu jelas bukan salahnya, sebab di masa itu menikah adalah derajat tertinggi yang bisa didapatkan perempuan. Otaknya sudah terdoktrin sedemikian rupa sehingga tidak bisa berpikir lurus. Aku mau membenci Lydia, tapi dipikir-pikir lagi aku malah merasa sedih.

Ditambah dia akan tinggal jauh dari keluarganya, entah apa yang akan terjadi di sana ketika mereka berdua saja tanpa orang yang bisa melindungi Lydia. Aku cuma berharap Lydia (serta anak-anak perempuan di zaman itu yang juga bernasib sama seperti Lydia) hidup bahagia.

Kitty & Mary. Kitty cuma Lydia versi agak kalem dikit walaupun dia lebih tua, sementara Mary benar-benar cuma pajangan di keluarga Bennet. Tidak benar-benar punya cerita atau latar belakang konkret, selain dia adalah "Anak keluarga Bennet yang paling tidak cantik.", Yikes!

Tuan & Nyonya Bennet. Kalian sudah lihat di plot apa masalahku dengan Tuan dan Nyonya Bennet. Si suami yang terlalu pasif dalam memimpin keluarga. Sedangkan, Nyonya Bennet bukan role model yang bagus sama sekali untuk anak-anak mereka. Aku tahu, sifat mereka yang seperti itu juga dipengaruhi zaman, tapi ... tidak adakah akal sehat sedikit saja di antara mereka?

D. Dialog

Ciri khas novel klasik lain pada umumnya adalah narasi yang mendominasi, otomatis dialog jadi cuma sedikit, di beberapa novel klasik bahkan tidak ada dialog sama sekali. Namun, rasanya Pride & Prejudice punya porsi yang pas antara dialog dan narasi. Di setiap adegan pasti ada dialog yang mengarah pada suatu konflik atau sekadar informasi.

Dialog kesukaanku tentu saja sering datang dari Lizzy. Gambaran feminis yang tidak terlalu ekstrem, tapi menusuk siapa pun yang berani menyinggung harga diri, maupun prasangka terhadapnya. Dialog Lydia juga sering membuatku kesal, tapi kemudian aku teringat dia cuma anak 15 tahun yang berusaha menjadi sebaik mungkin diterima oleh masyarakat.

Namun, dialog yang benar-benar membuatku kesal, tentu saja dialog-dialog Nyonya Bennet. Dia benar-benar memikirkan pendapat orang lain daripada kebahagiaan anak-anaknya. Nyaris menghapus nama Lizzy dari KK gara-gara ogah nikah sama sepupunya yang tua bangka. Pokoknye ni emak-emak mau anaknye nikah ame berug juga gapapa dah, yang penting nikah, heran gue!

Dialog Tuan Darcy dan Lizzy saat berinteraksi tentunya penuh ketegangan, tidak ada indikasi UwU sampai di halaman menuju akhir, tapi percayalah dialog UwU mereka begitu memuaskan. Aku juga berharap lebih banyak dialog UwU antara Jane dan Tuan Bingley, mereka benar-benar unproblematic. Hanya saja, terlalu peduli pendapat orang lain.

Satu hal yang membuatku tidak puas pada novel ini adalah minimnya interaksi antar kakak beradik Bennet. Serius ... aku suka hubungan kakak-beradik dalam sebuah kisah, apa lagi kalau mereka punya kepribadian berbeda, dan menunjukkan perbedaan kepribadian tersebut lewat adegan serta dialog. Contohlah kakak beradik March di Little Women.

Sayangnya, kakak-beradik Bennet sangat jarang berinteraksi, hanya Jane dan Lizzy yang digambarkan saling peduli. Sisanya, mereka terbilang cuek satu sama lain. Ya, memang tidak semua kakak beradik harus akur atau saling peduli. Tapi ... harusnya ada kayak semacam dorongan untuk membela atau setidaknya menasehati saudara kita, kan?

Aku berharap adegan Jane dan Lizzy memarahi adik-adik mereka, memarahi orang-orang yang berusaha memanipulasi adik-adik mereka. Aku juga berharap Lydia, Kitty, dan Mary membela kakak-kakak mereka saat sang ibu lagi "kumat". Adegan mereka makan siang, piknik, atau apa pun itu. Ini tidak ada sama sekali!

Mereka terkesan seperti bukan kakak beradik, tapi hanya anak-anak random yang kebetulan tinggal serumah, dan punya ayah-ibu yang sama. Kedengaran tidak masuk akal? Karena memang iya! Jujur itu membuatku pribadi sangat kiciwa.

E. Gaya Bahasa

Novel ini mengambil sudut pandang orang ketiga. Gaya bahasa yang digunakan sepanjang buku sangat blak-blakan. Alias terang-terangan menyebut Jane sebagai yang paling cantik di keluarga Bennet, sementara Mary adalah yang paling jelek. Lizzy gak terlalu jelek, tapi gak cantik juga, tapi pandai bergaul. Kitty dan Lydia brekele dan genit dan cabe-cabean.

Well ... kata-katanya tidak spesifik begitu, tapi implikasinya sangat begitu! Bahkan di sebuah surat, Paman keluarga Bennet bilang kalau Lydia meninggoy, itu akan jadi rahmat bagi keluarga Bennet. E bused, ini ke sesama keluarga aja savage-nya minta ampun. Apa lagi ke keluarga orang!

Membicarakan surat, novel ini juga banyak mencantumkan isi surat-menyurat antar tokohnya. Tentu saja karena surat-menyurat adalah alat komunikasi di masa itu. Namun, surat paling bermakna, tentu saja surat dari Tuan Darcy kepada Lizzy. Surat yang menjadi perantara perdamaian antar hubungan mereka yang awikwok.

Deskripsi di sini anehnya tidak seindah dan sedetail novel klasik lain, yang bisa memakan dua sampai tiga lembar halaman untuk menjabarkan kondisi langit. Di Pride & Prejudice deskripsinya malah tergolong efektif, berasa kayak baca novel di era modern aja. Entah itu dipengaruhi versi terjemahan atau tidak.

Penulis juga berhasil menggambarkan tokoh-tokohnya dengan baik, meskipun dengan cara yang sangat ekstrem dan blak-blakan. Maksudku, tidak pernah ada deskripsi "Jane adalah cewek cantik, tapi baik dan tidak sombong." Tapi sikap Jane dalam menanggapi orang-orang yang memujinya, menandakan bahwa dia memang baik dan tidak sombong.

Tidak pernah juga ada deskripsi kalau Nyonya Bennet itu emak-emak toxic nan rempong yang bikin para tetangga dan orang-orang sekitarnya memiliki hasrat untuk lompat ke rawa-rawa. Namun, dari tindak-tanduk, dialog, serta cara berpikir Nyonya Bennet jelas menunjukkan demikian.

F. Penilaian

Sampul : 2

Plot : 3,5

Penokohan : 3

Dialog : 3

Gaya Bahasa : 3

Total : 3 Bintang

G. Penutup

Okhay, hear me out ... Pride & Prejudice memang pantas mendapatkan segala ketenaran, karena mengangkat isu sosial, serta mendobrak hal-hal tabu yang tidak diterima khalayak ramai pada masa itu. Namun oh nenamun di sisi lain juga novel ini terasa Overrated. Terutama bagian "Kisah cinta terbaik sepanjang masa".

Trope Benci jadi Cinta terbaik mungkin benar, tapi untuk kisah cinta terbaik? I don't know ... bisakah Pride & Prejudice mengatakan itu saat Ove dan Sonja juga ada di muka bumi ini? Itu kedengara bias, tapi memang itu kenyataannya! Jadi novel ini jelas masterpiece, tapi bukan dari sisi romance-nya.

Mungkin segitu dulu review kali ini. Percayalah, aku membaca banyak buku tahun ini. Semuanya menarik, semuanya layak dibahas, tapi tidak satu pun masuk ke blog review barokah, karena apa?

Pakek nanya, tentu saja ....

MALAS!!!

Ini mungkin jadi review terakhir di tahun 2024 (sampai aku memutuskan untuk menulis review lain). Ada hal menarik yang tak terduga dari penulis kesayangan kita semua, dan aku tidak sabar untuk membicarakannya bersama kalian. Tapi eh tetapi, marilah kita simpan itu untuk tahun depan. Kita harus menyiapkan tenaga untuk tahun depan!

Sampai jumpa di lain hari ^o^/

Comments

Impy's all-time-fav book montage

The School for Good and Evil
A World Without Princes
The Last Ever After
Quests for Glory
House of Secrets
Battle of the Beasts
Clash of the Worlds
Peter Pan
A Man Called Ove
My Grandmother Asked Me to Tell You She's Sorry
The Book of Lost Things
The Fairy-Tale Detectives
The Unusual Suspects
The Problem Child
Once Upon a Crime
Tales From the Hood
The Everafter War
The Inside Story
The Council of Mirrors
And Every Morning the Way Home Gets Longer and Longer


Impy Island's favorite books »

Baca Review Lainnya!

Ily

Laut Bercerita

Aku Menyerah pada Serial Omen-nya Lexie Xu

Novel-novel Terkutuk (Mostly Watpat)

Matahari Minor

Mbah Rick Riordan Melanggar Semua Pakem dalam menulis POV1 (dan Tetap Bagus)

Sky Academy